Adab dan Etika
Murid kepada Guru
OLEH:
IRNA PUTRI
SEKOLAH TINGGI LUKMANUL HAKIM
SURABAYA
2013/2014
باسم
الله الرحمان الرحيم
تعلم الأدب
قبل أن تتعلم العلم
“Pelajarilah adab sebelum
mempelajari suatu ilmu.”
بالأدب تفهم
العلم
“Dengan mempelajari adab, maka engkau jadi
mudah memahami ilmu.”
KATA PENGANTAR
إنّ الحمد لله, نحمده و نستعينه و نستغفره و
نعوذ بالله من شرور آنفسنا و سيئات آعمالنا, من يهده الله فلا مضل له ومن يضلل فلا
هادي له. آشهد آن لا إله إلا الله وحده لا شريك له , وأشهد أن محمدا عبده و رسوله
أما بعد :
Alhamdulillahi robbil ‘alamin, puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat
serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan Makalah ini yang berjudul “ ADAB MURID KEPADA
GURU”
Sebagai seorang
muslim yang baik kita tentu tahu bahwa adab terhadap guru merupakan sesuatu hal yang sangat penting. Karena, guru adalah orang yang
mengenalkan kita pada luasnya dunia pengetahuan. Dan setiap guru pun pasti mempunyai
harapan terhadap anak didiknya agar kelak menjadi orang yang sukses, kaya ilmu,
berpengetahuan luas, memiliki ititut serta karakter yang baik ditengah-tengah
masyarakat serta berbakti.
Maka dari itu,
jika kita memang seorang muslim dan tolabul ilmi yang baik hendaknya kita selalu
berusaha menghormati, mendoakan, serta melakukan apa yang telah diajarkan guru
selama tidak bertentangan dengan syariat, serta tidak mencelanya dibelakangnya
Namun di zaman
dewasa ini banyak dari kita seperti lupa terhadap kewajiban kita terhadap guru
dan sebagai muslim yang baik, yaitu adalah kita harus memiliki adab dan prilaku
yang sempurna terhadap guru dan yang ada di sekeliling kita. Makalah ini
mengandung poin-poin penting bagaimana menjadi murid dan manusia yang beradab
terhadap guru dan sesama
manusia. Maka selain sebagai upaya untuk mengerjakan tugas, saya berharap bahwa
tugas makalah ini juga dapat dijadikan sebagai pengingat bagi setiap orang
muslim yang membacanya akan pentingnya adab dan prilaku yang baik
terhadap yang ada di sekitar kita.
Demikian
makalah ini kami susun dengan harapan dapat memberikan kontribusi yang posisi
bagi ummat manusia, dan tak lupa koreksi ataupun saran yang bersifat
konstruktif dari para pembaca dengan harapan hasil penyusunan kami lebih baik
di kemudian hari.
Terima kasih
Surabaya,
29 Oktober 2013
Penulis
BAB
I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Di antara kelaziman hidup bermasyarakat adalah budaya saling hormat
menghormati, saling menghargai satu sama lain, dalam menuntut ilmu sangatlah penting
di tanamkan adab dan tatakrama yang sopan terhadap guru.
Di zaman yang modern seperti sekarang ini telah banyak pergeseran tentang
adab atau prilaku sehingga menjurus kepada dekadensi moral, murid dengan guru
sudah tidak bisa lagi dibedakan baik dalam perkataan, perbuatan ataupun prilaku
dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan adanya
makalah ini penyusun mencoba menjelaskan pandangan islam tentang adab, tatakrama
dan prilaku yang seharusnya dijunjung tinggi dan diimplementasikan dalam
kehidupan sehari-hari, baik dalam bergaul satu sama lain ataupun dengan guru.
B. RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang diatas,maka dapat dirumuskan beberapa
masalah dibawah ini :
· Bagaimana pengertian adab?
· Bagaimanakah adab seorang anak terhadap guru?
C. TUJUAN
Adapun tujuannya dari penulisan makalah ini yaitu untuk
mengetahui pengertian dan segala sesuatu yang berkaitan dengan adab dan etika
murid kepada guru.
·
Untuk mendiskripsikan pengertian adab.
·
Untuk menjelaskan adab seorang anak terhadap guru?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Definisi adab
Menurut bahasa
Adab memiliki arti kesopanan, kehalusan dan kebaikan budi pekerti, akhlak.
M. Sastra Praja menjelaskan bahwa, adab yaitu tata cara hidup, penghalusan
atau kemuliaan kebudayaan manusia. Sedangkan menurut istilah Adab adalah
suatu ibarat tentang pengetahuan yang dapat menjaga diri dari segala sifat yang
salah.
Pengertian
bahwa adab ialah mencerminkan baik buruknya seseorang, mulia atau hinanya
seseorang, terhormat atau tercelanya nilai seseorang. Maka jelaslah bahwa
seseorang itu bisa mulia dan terhormat di sisi Allah dan manusia apabila ia
memiliki adab dan budi pekerti yang baik.
Seseorang akan
menjadi orang yang beradab dengan baik apabila ia mampu menempatkan dirinya
pada sifat kehambaan yang hakiki. Tidak merasa sombong dan tinggi hati dan
selalu ingat bahwa apa yang ada di dalam dirinya adalah pemberian dari Allah
swt. Sifat-sifat tersebut telah dimiliki Rasulullah saw. Secara utuh dan
sempurna.
Menurut Imam
al-Ghazali akhlak mulia adalah sifat-sifat yang dimiliki oleh para utusan Allah
swt. yaitu para Nabi dan Rasul dan merupakan amal para shadiqin. Akhlak yang
baik itu merupakan sebagian dari agama dan hasil dari sikap sungguh-sungguh
dari latihan yang dilakukan oleh para ahli ibadah dan para mutaqin.
Al-Ghazali
berpendapat bahwa pendidikan akhlak hendaknya didasarkan atas mujahadah
(ketekunan) dan latihan jiwa. Mujahadah dan riyadhah-nafsiyah (ketekunan dan
latihan kejiwaan) menurut al-Ghazali ialah membebani jiwa dengan amal-amal
perbuatan yang ditujukan kepada khuluk yang baik, sebagaimana kata beliau:
Barangsiapa yang ingin dirinya mempunyai akhlak pemurah, maka ia harus melatih
diri untuk melakukan perbuatan-perbuatan pemurah, yakni dermawan, dan gemar
bersedekah. Jika beramal bersedekah dilakukan secara istiqamah, maka akan jadi
kebiasaan.
Hal ini sejalan
dengan firman Allah swt :
Artinya :
“... dan
orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami
tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar
beserta orang-orang yang berbuat baik,,,.”
Konsepsi
pendidikan modern saat ini sejalan dengan pandangan al-Ghazali tentang
pentingnya pembiasaan melakukan suatu perbuatan sebagai suatu metode
pembentukan akhlak yang utama. Pandangan al-Ghazali tersebut sesuai dengan
pandangan ahli pendidikan Amerika Serikat, John Dewey, yang dikutip oleh Ali Al
Jumbulati menyatakan: Pendidikan moral terbentuk dari proses pendidikan dalam
kehidupan dan kegiatan yang dilakukan oleh murid secara terus-menerus.
B.
Adab
dan etika murid kepada guru
Sesungguhmya adab yang mulia adalah salah satu faktor penentu kebahagiaan
dan keberhasilan seseorang. Begitu juga sebaliknya, kurang adab atau tidak
beradab adalah alamat jurang kehancurannya. Tidaklah kebaikan dunia dan
akhirat kecuali dapat diraih dengan adab, dan tidaklah tercegah kebaikan dunia
dan akhirat melainkan karena kurangnya adab.
Murid adalah orang yang sedang belajar dan menuntut
ilmu kepada seorang guru. Demi untuk keberkahan dan kemudahan dalam meraih dan
mengamalkan ilmu atau pengetahuan yang telah diperoleh dari seorang guru, maka
seorang murid haruslah memiliki akhlak atau etika yang benar terhadap gurunya.
Di antara adab-adab yang telah disepakati adalah adab murid kepada syaikh
atau gurunya. Imam Ibnu Hazm berkata: “Para ulama bersepakat, wajibnya
memuliakan ahli al-Qur’an, ahli Islam dan Nabi. Demikian pula wajib memuliakan
kholifah, orang yang punya keutamaan dan orang yang berilmu.”
Beberapa contoh etika murid terhadap guru
(Mu’allim), diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Ikhlas sebelum melangkah
Pertama kali sebelum melangkah untuk menuntut ilmu hendaknya kita berusaha
selalu mengikhlaskan niat. Sebagaimana telah jelas niat adalah faktor penentu
diterimanya sebuah amalan. Ilmu yang kita pelajari adalah ibadah, amalan yang
mulia, maka sudah barang tentu butuh niat yang ikhlas dalam menjalaninya.
Belajar bukan karena ingin disebut sebagai pak ustadz, ?rang alim atau ingin
meraih ba-iian dunia yang menipu.
Dalil akan pentingnya ikhlas beramal di antaranya firman Allah:
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ
حُنَفَاء
Artinya :
“Padahal mereka tidak di suruh kecuali supaya
menyembah Alloh dengan memurnikan keta’atan kepada-Nya dalam (menjalankan)
agama yang lurus”.(QS. al-Bayyinah [98]: 5)
Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
“ Barangsiapa yang menuntut ilmu untuk membantah orang bodoh, atau
berbangga di hadapan ulama atau mencari perhatian manusia, maka dia masuk
neraka.
Imam asy-Syaukani berkata:
“Pertama kali yang wajib bagi seorang penuntut ilmu adalah meluruskan niatnya.
Hendaklah yang tergambar dari perkara yang ia kehendaki adalah syariat Alloh,
yang dengannya diturunkan para Rosul dan al-Kitab. Hendaklah penuntut ilmu
membersihkan dirinya dari tujuan-tujuan duniawi, atau karena ingin mencapai
kemuliaan, kepemimpinan dan Iain-lain. Ilmu ini mulia, tidak menerima
selainnya.”
Apabila keikhlasan telah hilang ketika belajar, maka amalan ini (menuntut
ilmu) akan berpindah dari keutamaan yang paling utama menjadi kesalahan yang
paling rendah
2. Jangan mencari guru sembarangan (Belajar kepada ahlul bid’ah)
Ibnu Jama’ah al-Kinani berkata: “Hendaklah penuntut ilmu mendahulukan
pandangannya, istikhoroh kepada Alloh untuk memilih kepada siapa dia berguru.
Hendaklah dia memilih guru yang benar-benar ahli, benar-benar lembut dan
terjaga kehormatannya. Hendaklah murid memilih guru yang paling bagus dalam
mengajar dan paling bagus dalam memberi pemahaman. Janganlah dia berguru
kepada orang yang sedikit sifat waro’nya atau agamanya atau tidak punya
akhlak yang bagus.”
Imam Malik Bin Anas berkata: “Tidak boleh mengambil ilmu dari empat orang: Orang yang bodoh
walaupun hafalannya banyak (bagaikan orang yang berilmu), Ahlil bid’ah yang
menyeru kepada kesesatannya, Orang yang terbiasa berdusta ketika berbicara
dengan manusia walaupun dia tidak berdusta ketika menyampaikan ilmunya, dan
Orang yang sholeh, mulia dan rajin beribadah jika dia tidak hafal (dan faham)
apa yang akan disampaikan”.
Sahabat Abdulloh bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Aku dahulu
membacakan ilmu kepada beberapa orang muhajirin, di antara mereka ada
Abdurrahman bin Auf.” (HR. Bukhori 6442).
Imam Ibnul Jauzi rahimahullah berkata: “Dalam hadits ini terdapat
peringatan akan perlunya mengambil ilmu dari ahlinya sekalipun masih berusia
muda atau sedikit kedudukannya.”
Bukan sebuah aib apabila kita menuntut ilmu dari
orang alim yang masih muda. Imam Ibnu
Muflih berkata: “Fasal mengambil ilmu dari ahlinya sekalipun masih berusia
muda.”
Imam Ibnu Abdil Barr berkata: “Orang yang bodoh itu tetap dikatakan rendah
sekalipun dia seorang syaikh. Dan orang yang berilmu itu tetap mulia sekalipun
masih muda.”
3. Manjaga kehormatan guru (Mengagungkan guru)
Mengagungkan orang yang berilmu termasuk perkara yang dianjurkan.
Sebagaimana Rasululloh bersabda :
«لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيرَنَا وَيُجِلَّ
كَبِيرَنَا وَيَفِ لِعَالِمِنَا»
“ bukanlah termasuk golongan kami orang
yang tidak menghorrmti orang yang tua, tidak
menyayangi yang muda dan tidak mengerti hak ulama kami. (HR. Ahmad
5/323, Hakim 1/122. Dishohihkan oleh al-Albani dalam Shohih Targhib 1/117)
Seorang murid hendaknya menganggap gurunya sebagai seorang pengajar dan
pendidik. Sebagai pengajar yang mengajarkan ilmu kepadanya, serta sebagai
pendidik yang membimbingnya pada budi pekerti yang baik. Seorang murid kalau
tidak percaya pada gurunya dalam hal ini maka dia tidak akan mendapatkan apa
yang dia inginkan. Sebagai sebuah gambaran, jika seorang murid ragu-ragu dengan
kemampuan ilmu gurunya, bagaimana mungkin dia akan mengambil manfaat darinya.
Imam Nawawi rahimahullah berkata: “Hendaklah seorang murid
memperhatikan gurunya dengan pandangan penghormatan. Hendaklah ia meyakini
keahlian gurunya dibandingkan yang lain. Karena hal itu akan menghantarkan
seorang murid untuk banyak mengambil manfaat darinya, dan lebih bisa membekas
dalam hati terhadap apa yang ia dengar dari gurunya tersebut.”
4. Akuilah keutamaan gurumu
Khothib al-Baghdadi berkata: “Wajib bagi seorang murid untuk mengakui
keutamaan gurunya yang faqih dan hendaklah pula menyadari bahwa dirinya banyak
mengambil ilmu dari gurunya.”
Ibnu Jamaah al-Kinani berkata: “Hendaklah seorang murid mengenal hak
gurunya, jangan dilupakan semua jasanya.”
5. Doakan kebaikan
Rasululloh bersabda :
وَمَنْ أَتَى إِليْكُم مَعْروفاً
فَكَافِئُوه فَإِنْ لَمْ تَجِدوا فَادْعُوا لَهُ، حَتَّى يَعلَمَ أن قَد
كَافَئْتُمُوه
“Apabila ada yang berbuat baik kepadamu maka balaslah denganbalasan yang setimpal. Apabila kamu tidak bisa membalasnya, maka doakanlah dia
hingga engkau memandang telah mencukupi untuk membalas dengan balasan yang
setimpal.” (HR. Abu Dawud 1672, Nasa’i 1/358, Ahmad 2/68, Hakim 1/412
Bukhori dalam al-Adab al-Mufrod no. 216, Ibnu Hibban 2071, Baihaqi
4/199, Abu Nu’aim dalam al-Hilyah 9/56. Lihat as-Shohihah 254)
Imam Abu Hanifah berkata: “Tidaklah aku sholat sejak kematian Hammad
kecuali aku memintakan ampun untuknya dan orang tuaku. Aku selalu memintakan
ampun untuk orang yang aku belajar darinya atau yang mengajariku ilmu.”
Ibnu Jama’ah berkata: “Hendaklah seorang penuntut ilmu mendoakan gurunya
sepanjang masa. Memperhatikan anak-anaknya, kerabatnya dan menunaikan haknya
apabila telah wafat.”
6. Rendah diri kepada guru
Ibnu Jama’ah rahimahullah berkata: “Hendaklah seorang murid
mengetahui bahwa rendah dirinya kepada seorang guru adalah kemuliaan, dan
tunduknya adalah kebanggaan.”
Sahabat Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma dengan kemuliaan dan kedudukannya
yang agung, beliau mengambil tali kekang unta Zaid bin Tsabit radhiyallahu
‘anhu seraya berkata: “Demikianlah kita diperintah untuk berbuat baik
kepada ulama.”
Al-Khothib telah meriwayatkan dalam kitab Jami’nya bahwa Ibnul
Mu’taz berkata: “Orang yang rendah diri dalam belajar adalah yang paling banyak
ilmunya sebagaimana tempat yang rendah adalah tempat yang paling banyak
airnya.”
7. Mencontoh akhlaknya
Hendaklah seorang penuntut ilmu mencontoh akhlak dan kepribadian guru.
Mencontoh kebiasaan dan ibadahnya. Qoshim bin Salam menceritakan: “Adalah para
murid Ibnu Mas’ud mereka belajar kepadanya untuk melihat akhlak, kepribadian
dan kemudian menirunya.”
Imam as-Sam’ani
rahimahullah menceritakan bahwa majelis Imam Ahmad bin Hanbal dihadiri
lima ribu orang. Lima ratus
orang menulis, sedangkan selainnya hanya ingin melihat dan meniru adab dan
akhlak Imam Ahmad. (Siyar AlamNubala, 11/316)
8. Membela kehormatan guru
Ketahuilah selayaknya bagi siapa saja yang mendengar orang yang sedang
mengghibah kehormatan seorang muslim, hendaklah dia membantah dan menasehati
orang tersebut. Apabila tidak bisa diam dengan lisan maka dengan tangan,
apabila orang yang mengghibah tidak bisa dinasehati juga dengan tangan dan
lesan maka tinggalkanlah tempat tersebut. Apabila dia mendengar orang yang
mengghibah gurunya atau siapa saja yang mempunyai kedudukan, keutamaan dan
kesholihan, maka hendaklah dia lebih serius untuk membantahnya. (Shohih
al-Adzkar 2/832, Adab at-Tatalmudz hal. 33)
9. Jangan berlebihan kepada guru
Guru adalah manusia biasa. Tidak harus semua perkataannya diterima
mentah-mentah tanpa menimbangnya menurut kaidah syar’iah. Orang yang selalu manut
terhadap perkataan guru, bahkan sampai membela mati-matian ucapannya adalah
termasuk sikap ghuluw (berlebih-lebihan). Apabila telah jelas kekeliruan
guru maka nasehatilah, jangan diikuti kesalahannya. Jangan seorang guru
dijadikan tandingan bagi Alloh dalam syariat ini. Alloh berfirman;
اتَّخَذُواْ أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَاباً مِّن دُونِ اللّهِ
وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُواْ إِلاَّ لِيَعْبُدُواْ إِلَـهاً
وَاحِداً لاَّ إِلَـهَ إِلاَّ هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
Artinya :
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rohib-rohib mereka se-bagai Robb-Robb selain Allah, dan (juga mereka menjadikan Robb) Al-Masih putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh
menyembah Ilah Yang Maha Esa; tidak ada Ilah (yang berhak disembah) selain Dia.
Maha suci Alloh dari apa yang mereka persekutukan”. (QS. at-Taubah [9]: 31)
Imam Mawardi rahimahullahmengatakan,
“Sebagian para pengikut orang alim berbuat ghuluw kepada gurunya. Hingga menjadikan
perkataannya sebagai dalil sekalipun sebenarnya tidak bisa dijadikan dalil.
Meyakini ucapannya sebagai hujjah sekalipun bukan hujjah.” (Adab Dunya hal.
49, Adab at-Tatalmudz hal. 38)
10. Bila guru
bersalah
Sudah menjadi ketetapan yang
mapan bahwasanya tidak ada seorang pun yang selamat dari kesalahan. Salah
merupakan hal yang wajar terjadi pada manusia. Rosululloh -SHI bersabda;
Seluruh bani Adam banyak bersalah. Dan sebaik-baiknya orang yang banyak
bersalah adalah yang bertaubat. (HR. Tirmidzi
2499, Ibnu Majah 4251, Ahmad 3/198, ad-Darimi 273, Hakim 4/244; Lihat Shohih
Jami’us Shoghir 4515).
Imam Ibnul Qoyyim berkata: “Barangsiapa yang mempunyai ilmu dia akan
mengetahui dengan pasti bahwa orang yang mempunyai kemuliaan, mempunyai peran
dan pengaruh dalam Islam maka hukumnya seperti ahli Islam yang lain.
Kadang-kala dia tergelincir dan bersalah. Orang yang semacam ini diberi udzur
bahkan bisa diberi pahala karena ijtihadnya, tidak boleh kesalahannya diikuti,
kedudukannya tidak boleh dilecehkan di hadapan manusia.” (I’lamul Muwaqqi’in
3/295)’
Bila pelajaran sudah dimulai
Bila pelajaran telah dimulai hendaklah bagi seorang penuntut ilmu
memperhatikan hal-hal berikut;
· Menghadirkan hati dan perhatian dengan seksama
Apabila telah hadir dalam majelis ilmu maka pusatkanlah perhatianmu untuk
mendengar dan memahami pelajaran. Jangan biarkan hati menerawang ke-mana-mana.
Konsentrasi penuh, karena sikap yang demikian akan membuat pelajaran lebih
membekas dan terpahami.
Ibnu Jama’ah berkata: “Hendaklah
seorang murid ketika menghadiri pelajaran gurunya memfokuskan hatinya dari
segala kesibukan. Pikirannya penuh konsentrasi, tidak dalam keadaan mengantuk,
marah, haus, lapar dan lain seba-gainya. Yang demikian agar hatinya benar-benar
menerima dan memahami terhadap apa yang dijelaskan dan apa yang dia de-ngar.” (Tadzkiroh
Sami’ hal. 96)
· Mengenakan pakaian yang bersih
Hal ini harus diperhatikan pula. Hendaklah seorang murid berpakaian yang
sopan dan bersih. Ingatlah ketika malaikat Jibril bertanya kepada Rosululloh shallallahu
‘alaihi wa sallam beliau sangat bersih pakaian dan keadaan dirinya. Umar
bin Khoththob mengatakan: “Ketika kami duduk di sisi Rosululloh shallallahu
‘alaihi wa sallam pada suatu hari, tiba-tiba datang kepada kami seorang
laki-laki yang berpakaian sangat putih, rambutnya sangat hitam, tidak terlihat
padanya bekas perjalanan jauh.” (HR. Muslim 8, Abu Dawud 4695, Tirmidzi 2610,
Nasa’i 8/97, Ibnu Majah 63 dan selainnya.)
Karena kondisi yang bersih menandakan bahwa seorang murid siap menerima
pelajaran dan ilmu. Maka jangan salah-kan apabila ilmu tidak mere-sap dalam
dada karena kondisi kita yang kurang siap, pakaian penuh keringat, kepanasan
dan sebagainya.
·
Duduk dengan tenang
Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin berkata: “Duduklah dengan duduk
penuh adab. Jangan engkau luruskan kakimu di hadapannya, ini termasuk adab yang
jelek. Jangan duduk dengan bersandar, ini juga adab yang jelek apalagi di
tempat belajar. Lain halnya jika engkau duduk di tempat umum, maka ini lebih
ringan.” (at-Ta’liq as-Tsamin hal. 181)
· Bertanya kepada guru
Ilmu adalah bertanya dan menjawab. Dahulu dikatakan, “Bertanya dengan baik
adalah setengah ilmu.” (Fathul Bari 1/142). Bertanya dengan tenang,
tidak tergesa-gesa dan pergunakanlah bahasa yang santun lagi sopan. Jangan guru
itu dipanggil dengan namanya, katakanlah wahai guruku dan semisalnya. Karena
guru perlu dihormati, jangan disamakan dengan teman. Alloh berfirman yang
artinya :
لَا
تَجْعَلُوْ دُعَاءَ الرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَاءِ بَعْضِكُمْ بَضًا
“ Janganlah kamu jadikan panggilan Rosul di antara kamu seperti panggilan
sebahagian kamu kepada seba-hagian (yang lain)” (QS. an-Nur [24]: 63).
Ayat ini adalah pokok untuk membedakan orang yang punya kedudukan dengan
orang yang biasa. Harap dibedakan keduanya.
Perhatian. Sering kita
jumpai sebagian para penuntut ilmu memaksa gurunya untuk menjawab dengan dalil
atas sebuah pertanyaan. Seolah-olah sang murid belum puas dan terus mendesak
seperti berkata kenapa begini, soya belum terima, siapa yang berkata
demikian, semua ini harus dihindari. Pahamilah wahai saudaraku, guru adalah
manusia biasa, bisa lupa dan bersalah. Apabila engkau pandang gurumu salah atau
lupa dengan dalilnya maka janganlah engkau memaksa terus dan jangan memalingkan
muka darinya. Berilah waktu untuk mendatangkan dalil di kesempatan lain.
Jagalah adab ini, jangan sampai sang guru menjadi jemu, marah hanya karena
melayani pertanyaanmu.
Syaikh al-Albani berkata: “Kadangkala seorang alim tidak bisa mendatangkan
dalil atas sebuah pertanyaan, khususnya apabila dalilnya adalah sebuah
istinbat hukum yang tidak dinashkan secara jelas dalam al-Qur’an dan
Sunnah. Semisal ini tidak pantas bagi penanya untuk terlalu mendalam bertanya
akan dalilnya. Menyebutkan dalil adalah wajib ketika realita menuntut demikian.
Akan tetapi tidak wajib baginya acapkali ditanya harus menjawab Allah
berfirman demikian, Rosul bersabda demikian, lebih-lebih dalam perkara
fiqih yang rumit yang diperselisihkan.
· Perhatikan keadaan gurumu
Memperhatikan keadaan guru merupakan perkara yang penting. Karena mengajar
butuh persiapan yang penuh. Jangan bertanya atau meminta belajar ketika kondisi
guru tidak siap, semisal sedang sibuk, banyak permasalahan, sedih dan
sebagainya.
Imam Nawawi rahimahullah berkata: “Janganlah engkau meminta belajar
kepadanya ketika dia sibuk, sedang sedih, kelelahan, dan Iain-lain, karena hal
itu akan menyebabkan dia malas untuk menjelaskan pelajaran kepadamu.”
C. Bahaya yang ditimbulkan akibat kita tidak
menghormati para Ulama
1. Menghina ulama
akan menyebabkan rusaknya agama
Berkata Al-Imam
Ath-Thahawi –rahimahullah- : “Ulama salaf dari kalangan ulama terdahulu,
demikian pula para tabi’in, harus disebut dengan kebaikan. Maka siapa yang menyebut mereka
dengan selain kebaikan maka dia berada di atas kesesatan”
Berkata Al-Imam
Ibnul Mubarak –rahimahullah- : “Siapa yang melecehkan ulama, akan hilang
akhiratnya. Siapa yang melecehkan umara’ (pemerintah), akan hilang dunianya.
Siapa yang melecehkan teman-temannya, akan hilang kehormatannya”
Dan mencela
ulama termasuk diantara dosa-dosa besar.
2. Orang yang
menghina ulama sama artinya dia mengumumkan perang kepada Allah.
Hal ini
sebagaimana disebutkan dalam hadits tentang wali Alloh yang diriwayatkan
Al-Imam Al-Bukhari -rahimahullah- dari Abu Hurairah –radhiyallohu ‘anhu-
:
عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم
بِالْحَرْبِ
– …رواه البخاري إِنَّ اللهَ تَعَالَى قَالَ : مَنْ
عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ
Dari Abu
Hurairah”Sesungguhnya Allah ta’ala telah berfirman : ‘Barang siapa memusuhi
wali-Ku, maka sesungguhnya Aku menyatakan perang terhadapnya… [HR. Al Bukhari]
Dan para ulama,
mereka adalah termasuk wali-wali Allah.
3. Orang yang menghina ulama sengaja mencampakkan dirinya
untuk terkena do’a dari seorang alim yang terzhalimi
Hal ini sebagaimana kisah salah
seorang Shahabat yang bermana Sa’ad bin Abi Waqqash –radhiyallohu ‘anhu- dan
beliau termasuk salah seorang dari 10 Shahabat yang dijamin dengan Surga.
4. Orang yang mencibir para ulama maka ia akan
dijerumuskan kepada apa yang ia tuduhkan kepada ulama itu.
Berkata Ibrahim An-Nakha-i
–rahimahullah- “Aku mendapati dalam jiwaku keinginan untuk membicarakan aib
seseorang; akan tetapi yang mencegahku dari membicarakannya adalah aku khawatir
jika aib orang itu ternyata menimpa diriku”
5.
Orang yang merasa lezat dengan meng-ghibah para ulama maka ia akan
diberikan su-ul khatimah (akhir kehidupan yang jelek)
Al-Qadhi Az-Zubaidi, ketika dia
meninggal dunia lisannya berubah menjadi hitam, hal ini dikarenakan dia suka
mencibir Al-Imam An-Nawawi
6. Daging para
ulama itu beracun
Berkata Imam Ahmad bin Hanbal –rahimahullah- : “Daging para ulama itu
beracun. Siapa yang menciumnya maka ia akan sakit. Siapa yang memakannya maka
ia akan mati.”
7.
Mencela ulama merupakan sebab terbesar bagi seseorang untuk terhalangi
dari dapat mengambil faidah dari ilmu para ulama.
Berkata Al-Imam Hasan Al-Bashri
–rahimahullah- : “Dunia itu seluruhnya gelap, kecuali majelis-majelisnya para
ulama.”
8.
Dengan dicelanya ulama akan mengakibatkan ulama dijauhkan dari medan
dakwah
Sebagaimana hal ini datang dari
kalangan harokah (orang-orang pergerakan), mereka memisahkan antara ulama
dengan da’i. Mereka menyangka –dengan persangkaan mereka yang bathil- bahwa
ulama itu hanya bisa duduk di kursi dan menyampaikan ilmu, akan tetapi mereka
tidak memahami realita (fiqhul waqi’). Sedangkan yang memahami waqi’ adalah
para da’i yang terjun langsung ke medan dakwah. Sehingga para ulama itu tidak
bisa dijadikan rujukan dalam menghadapi peristiwa-peristiwa kekinian, dan yang
dijadikan rujukan adalah orang-orang yang mereka anggap sebagai da’i.
Kemudian, beliau –hafizhahullah- menjelaskan beberapa sebab yang
menyebabkan manusia tidak menghormati para ulama. Diantaranya:
1. Belajar sendiri (otodidak) atau hanya berguru kepada
kitab tanpa mau duduk di majlis para ulama
Diantara
dampak buruk dari otodidak adalah :
- Orang ini akan mengukur dengan
keadaan dirinya sendiri, sehingga dengan mudahnya dia memandang dirinya
sebagai orang alim
- Orang ini akan kehilangan suri tauladan
dalam adab dan akhlaq
Dahulu para salaf melarang orang yang belajar secara
otodidak untuk berfatwa.
Al-Imam Asy-Syafi’i
–rahimahullah- berkata : “Siapa yang bertafaqquh dari perut-perut kitab, maka
ia akan menyia-nyiakan hukum.” Kemudian beliau bersya’ir :
Siapa yang mengambil ilmu
langsung dari guru, maka dia akan terhindar dari kesesatan
Siapa yang mengambil ilmu dari
buku-buku, maka ilmunya di sisi para ulama seperti tidak ada
2. Terlalu tergesa-gesa untuk menjadi da’i sebelum
menghasilkan batasan paling rendah dari ilmu dengan alasan untuk berdakwah
Termasuk aib, jika seorang yang
memposisikan dirinya sebagai da’i /Ustadz dan dia mengajar ke sana dan ke sini
akan tetapi dia tidak bisa berbahasa arab.
Umar bin Khaththab –radhiyallohu
‘anhu- : Bertafaqquhlah kalian sebelum kalian diangkat menjadi pemimpin.
Imam Asy-Syathibi –rahimahullah-
berkata : Orang yang masih rendah ilmunya dan memposisikan dirinya sebagai
ulama maka ia akan terluput dari kebaikan yang sangat banyak.
Dan mengambil ilmu dari
orang-orang yang rendah ilmunya akan menjadikan orang-orang awam menyangka
bahwa orang itu adalah ulama. Sehingga memalingkan mereka dari ulama yang
sesungguhnya.
3. Sifat sok tahu
Orang yang sok tahu dan merasa
pintar, maka engkau akan dapati mereka adalah orang-orang yang dangkal ilmunya
akan tetapi memposisikan diri mereka seperti ulama, maka mereka itu akan
ditimpa oleh penyakit ujub (bangga kepada dirinya sendiri).
Berkata Mu’awiyah bin Abi Sufyan
–radhiyallohu ‘anhuma- : Orang yang paling tertipu adalah orang para qari’
(pembaca al-qur’an) akan tetapi ia tidak faham apa yang terkandung di dalamnya.
Kemudian dia mengajar anak-anak dan wanita , yang dengan itu dia merasa besar
kemudian berani mendebat para ulama.
4. Terpengaruh oleh kebebasan berpendapat gaya barat.
Sehingga menganggap setiap orang boleh berbicara tentang agama menurut akal
mereka walaupun tanpa ilmu.
Sebagaimana hal ini banyak kita lihat dan saksikan
pada zaman kita ini. Di mana orang yang paling awam tentang agama berbicara
dengan sebebas-bebasnya tentang agama ini, mengatakan seenaknya tentang kitab
Allah dan Sunnah NabiNya.
Disebutkan dalam hadits, tentang tahun-tahun yang
menipu dan munculnya para ruwaibidhah:
5.
Fanatik Hizbi / Fanatik Golongan
Syaikhul Islam berkata : Tidak
boleh menisbatkan diri kepada seorang syaikh atau sebuah kelompok dan
memberikan loyalitas di atasnya.
6. Tidak adanya ketelitian dalam
menukil dan menyampaikan khabar tentang ulama
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Adab ialah
mencerminkan baik buruknya seseorang, mulia atau hinanya seseorang, terhormat
atau tercelanya nilai seseorang.
Adab terhadap
guru adalah Jangan mencari guru sembarangan, Ikhlas sebelum melangkah,
Mengagungkan guru, Akuilah keutamaan gurumu, Doakan kebaikan, Rendah diri kepada
guru, Mencontoh akhlaknya, Membela kehormatan guru, Jangan berlebihan kepada
guru, dan Bila guru bersalah
B.
KRITIK DAN SARAN
Dari pemaparan
kami di atas masih banyak kekeliruan atau kesalahan dalam penulisan, oleh karna
itu kami mohon kritik dan sarannya agar kami bisa belajar dan memperbaiki
kesalahan kami. Semoga makalah ini bermanfaat bagi semua pihak. Atas
kekurangannya kami mohon maaf.
DAFTAR PUSTAKA
Syaikh al ‘Utsaimin, Muhammad bin Shalih. 2005 M/1426 H. “ Syarah
Adab & Manfaat Menuntut Ilmu”. Jakarta : Pustaka Imam Asy-Syafi’i
Slots and table games at Harrah's Resort Southern California
BalasHapusWhat's inside 김포 출장안마 and outside of 제주도 출장안마 Harrah's Resort 순천 출장샵 Southern California? Play over 고양 출장안마 200 different slots, table 광주광역 출장안마 games, and more, all in one place!