Tulisan Lain
Menunggu...

4 November 2015

Adab dan Etika Murid kepada Guru

Adab dan Etika Murid kepada Guru


OLEH:
IRNA PUTRI




SEKOLAH TINGGI LUKMANUL HAKIM
SURABAYA
2013/2014






باسم الله الرحمان الرحيم


 



تعلم الأدب قبل أن تتعلم العلم
“Pelajarilah adab sebelum mempelajari suatu ilmu.”
بالأدب تفهم العلم
     “Dengan mempelajari adab, maka engkau jadi mudah memahami ilmu.”











KATA PENGANTAR

             إنّ الحمد لله, نحمده و نستعينه و نستغفره و نعوذ بالله من شرور آنفسنا و سيئات آعمالنا, من يهده الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له. آشهد آن لا إله إلا الله وحده لا شريك له , وأشهد أن محمدا عبده و رسوله
أما بعد :
         
Alhamdulillahi robbil ‘alamin, puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan Makalah ini yang berjudul “ ADAB MURID KEPADA GURU
Sebagai seorang muslim yang baik kita tentu tahu bahwa adab terhadap guru merupakan sesuatu hal yang sangat penting. Karena, guru adalah orang yang mengenalkan kita pada luasnya dunia pengetahuan. Dan setiap guru pun pasti mempunyai harapan terhadap anak didiknya agar kelak menjadi orang yang sukses, kaya ilmu, berpengetahuan luas, memiliki ititut serta karakter yang baik ditengah-tengah masyarakat serta berbakti.
Maka dari itu, jika kita memang seorang muslim dan tolabul ilmi yang baik hendaknya kita selalu berusaha menghormati, mendoakan, serta melakukan apa yang telah diajarkan guru selama tidak bertentangan dengan syariat, serta tidak mencelanya dibelakangnya
Namun di zaman dewasa ini banyak dari kita seperti lupa terhadap kewajiban kita terhadap guru dan sebagai muslim yang baik, yaitu adalah kita harus memiliki adab dan prilaku yang sempurna terhadap guru dan yang ada di sekeliling kita. Makalah ini mengandung poin-poin penting bagaimana menjadi murid dan manusia yang beradab terhadap guru dan sesama manusia. Maka selain sebagai upaya untuk mengerjakan tugas, saya berharap bahwa tugas makalah ini juga dapat dijadikan sebagai pengingat bagi setiap orang muslim yang membacanya  akan pentingnya adab dan prilaku yang baik terhadap yang ada di sekitar kita.
Demikian makalah ini kami susun dengan harapan dapat memberikan kontribusi yang posisi bagi ummat manusia, dan tak lupa koreksi ataupun saran yang bersifat konstruktif dari para pembaca dengan harapan hasil penyusunan kami lebih baik di kemudian hari.
Terima kasih
Surabaya, 29 Oktober 2013
Penulis

BAB I
PENDAHULUAN
A.  LATAR BELAKANG
Di antara kelaziman hidup bermasyarakat adalah budaya saling hormat menghormati, saling menghargai satu sama lain, dalam menuntut ilmu sangatlah penting di tanamkan adab dan tatakrama yang sopan terhadap guru.
Di zaman yang modern seperti sekarang ini telah banyak pergeseran tentang adab atau prilaku sehingga menjurus kepada dekadensi moral, murid dengan guru sudah tidak bisa lagi dibedakan baik dalam perkataan, perbuatan ataupun prilaku dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan adanya makalah ini penyusun mencoba menjelaskan pandangan islam tentang adab, tatakrama dan prilaku yang seharusnya dijunjung tinggi dan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam bergaul satu sama lain ataupun dengan guru.

B. RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang diatas,maka dapat dirumuskan beberapa masalah dibawah ini :
·         Bagaimana pengertian adab?
·         Bagaimanakah adab seorang anak terhadap guru?

C. TUJUAN
Adapun tujuannya dari penulisan makalah ini yaitu untuk mengetahui pengertian dan segala sesuatu yang berkaitan dengan adab dan etika murid kepada guru.
·         Untuk mendiskripsikan pengertian adab.
·         Untuk menjelaskan adab seorang anak terhadap guru?



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Definisi adab

Menurut bahasa Adab memiliki arti kesopanan, kehalusan dan kebaikan budi pekerti, akhlak. M. Sastra Praja menjelaskan bahwa, adab yaitu tata cara hidup, penghalusan atau kemuliaan kebudayaan manusia. Sedangkan menurut istilah Adab adalah suatu ibarat tentang pengetahuan yang dapat menjaga diri dari segala sifat yang salah.
Pengertian bahwa adab ialah mencerminkan baik buruknya seseorang, mulia atau hinanya seseorang, terhormat atau tercelanya nilai seseorang. Maka jelaslah bahwa seseorang itu bisa mulia dan terhormat di sisi Allah dan manusia apabila ia memiliki adab dan budi pekerti yang baik.
Seseorang akan menjadi orang yang beradab dengan baik apabila ia mampu menempatkan dirinya pada sifat kehambaan yang hakiki. Tidak merasa sombong dan tinggi hati dan selalu ingat bahwa apa yang ada di dalam dirinya adalah pemberian dari Allah swt. Sifat-sifat tersebut telah dimiliki Rasulullah saw. Secara utuh dan sempurna.
Menurut Imam al-Ghazali akhlak mulia adalah sifat-sifat yang dimiliki oleh para utusan Allah swt. yaitu para Nabi dan Rasul dan merupakan amal para shadiqin. Akhlak yang baik itu merupakan sebagian dari agama dan hasil dari sikap sungguh-sungguh dari latihan yang dilakukan oleh para ahli ibadah dan para mutaqin.
Al-Ghazali berpendapat bahwa pendidikan akhlak hendaknya didasarkan atas mujahadah (ketekunan) dan latihan jiwa. Mujahadah dan riyadhah-nafsiyah (ketekunan dan latihan kejiwaan) menurut al-Ghazali ialah membebani jiwa dengan amal-amal perbuatan yang ditujukan kepada khuluk yang baik, sebagaimana kata beliau: Barangsiapa yang ingin dirinya mempunyai akhlak pemurah, maka ia harus melatih diri untuk melakukan perbuatan-perbuatan pemurah, yakni dermawan, dan gemar bersedekah. Jika beramal bersedekah dilakukan secara istiqamah, maka akan jadi kebiasaan.
Hal ini sejalan dengan firman Allah swt :
Artinya :
“... dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik,,,.”
Konsepsi pendidikan modern saat ini sejalan dengan pandangan al-Ghazali tentang pentingnya pembiasaan melakukan suatu perbuatan sebagai suatu metode pembentukan akhlak yang utama. Pandangan al-Ghazali tersebut sesuai dengan pandangan ahli pendidikan Amerika Serikat, John Dewey, yang dikutip oleh Ali Al Jumbulati menyatakan: Pendidikan moral terbentuk dari proses pendidikan dalam kehidupan dan kegiatan yang dilakukan oleh murid secara terus-menerus.

B.     Adab dan etika murid kepada guru

Sesungguhmya adab yang mulia adalah salah satu faktor penentu kebahagiaan dan keberhasilan seseorang. Begitu juga sebaliknya, kurang adab atau tidak beradab adalah alamat jurang kehancurannya. Tidaklah kebaikan dunia dan akhirat kecuali dapat diraih dengan adab, dan tidaklah tercegah kebaikan dunia dan akhirat melainkan karena kurangnya adab.
Murid adalah orang yang sedang belajar dan menuntut ilmu kepada seorang guru. Demi untuk keberkahan dan kemudahan dalam meraih dan mengamalkan ilmu atau pengetahuan yang telah diperoleh dari seorang guru, maka seorang murid haruslah memiliki akhlak atau etika yang benar terhadap gurunya.
Di antara adab-adab yang telah disepakati adalah adab murid kepada syaikh atau gurunya. Imam Ibnu Hazm berkata: “Para ulama bersepakat, wajibnya memuliakan ahli al-Qur’an, ahli Islam dan Nabi. Demikian pula wajib memuliakan kholifah, orang yang punya keutamaan dan orang yang berilmu.”
Beberapa contoh etika murid terhadap guru (Mu’allim), diantaranya adalah sebagai berikut :
1.      Ikhlas sebelum melangkah
Pertama kali sebelum me­langkah untuk menuntut ilmu hendaknya kita berusaha selalu mengikhlaskan niat. Sebagaimana telah jelas niat adalah fak­tor penentu diterimanya sebuah amalan. Ilmu yang kita pelajari adalah ibadah, amalan yang mu­lia, maka sudah barang tentu butuh niat yang ikhlas dalam menjalaninya. Belajar bukan karena ingin disebut sebagai pak ustadz, ?rang alim atau ingin meraih ba-iian dunia yang menipu.
Dalil akan pentingnya ikhlas beramal di antaranya firman Allah:
                                                        وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاء
Artinya :
“Padahal mereka tidak di suruh kecuali supaya menyembah Alloh dengan memurnikan keta’atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus”.(QS. al-Bayyinah [98]: 5)
Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
“ Barangsiapa yang menuntut ilmu untuk membantah orang bodoh, atau berbangga di hadapan ulama atau mencari perhatian manusia, maka dia masuk neraka.
Imam asy-Syaukani berkata: “Pertama kali yang wajib bagi seorang penuntut ilmu adalah meluruskan niatnya. Hendaklah yang tergambar dari perkara yang ia kehendaki adalah syariat Alloh, yang dengannya diturunkan para Rosul dan al-Kitab. Hendaklah penuntut ilmu membersihkan dirinya dari tujuan-tujuan duniawi, atau karena ingin mencapai kemuliaan, kepemimpinan dan Iain-lain. Ilmu ini mulia, tidak menerima selainnya.”
Apabila keikhlasan telah hilang ketika belajar, maka amalan ini (menuntut ilmu) akan berpindah dari keutamaan yang paling utama menjadi kesalahan yang paling rendah

2.      Jangan mencari guru sembarangan (Belajar kepada ahlul bid’ah)
Ibnu Jama’ah al-Kinani berkata: “Hendaklah penuntut ilmu mendahulukan pandangannya, istikhoroh kepada Alloh untuk memilih kepada siapa dia berguru. Hendaklah dia memilih guru yang benar-benar ahli, benar-benar lembut dan terjaga kehormatannya. Hendaklah murid memilih guru yang paling bagus dalam mengajar dan paling ba­gus dalam memberi pemahaman. Janganlah dia berguru kepada orang yang sedikit sifat waro’nya atau agamanya atau tidak punya akhlak yang bagus.”
Imam Malik Bin Anas berkata: “Tidak boleh mengambil ilmu dari empat orang: Orang yang bodoh walaupun hafalannya banyak (bagaikan orang yang berilmu), Ahlil bid’ah yang menyeru kepada kesesatannya, Orang yang terbiasa berdusta ketika berbicara dengan manusia walaupun dia tidak berdusta ketika menyampaikan ilmunya, dan Orang yang sholeh, mulia dan rajin beribadah jika dia tidak hafal (dan faham) apa yang akan disampaikan”.
Sahabat Abdulloh bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Aku dahulu membacakan ilmu kepada beberapa orang muhajirin, di antara mereka ada Abdurrahman bin Auf.” (HR. Bukhori 6442).
Imam Ibnul Jauzi rahimahullah ber­kata: “Dalam hadits ini terdapat peringatan akan perlunya mengambil ilmu dari ahlinya sekalipun masih berusia muda atau sedikit kedudukannya.”
Bukan sebuah aib apabila kita menuntut ilmu dari orang alim yang masih muda. Imam Ibnu Muflih berkata: “Fasal mengam­bil ilmu dari ahlinya sekalipun masih berusia muda.”
Imam Ibnu Abdil Barr berka­ta: “Orang yang bodoh itu tetap dikatakan rendah sekalipun dia seorang syaikh. Dan orang yang berilmu itu tetap mulia sekalipun masih muda.”

3.      Manjaga kehormatan guru (Mengagungkan guru)
Mengagungkan orang yang berilmu termasuk perkara yang dianjurkan. Sebagaimana Rasululloh bersabda :
«لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيرَنَا وَيُجِلَّ كَبِيرَنَا وَيَفِ لِعَالِمِنَا»
bukanlah termasuk golongan kami orang   yang   tidak   menghorrmti orang yang tua, tidak menyayangi yang muda dan tidak mengerti hak ulama kami. (HR. Ahmad 5/323, Hakim 1/122. Dishohihkan oleh al-Albani dalam Shohih Targhib 1/117)
Seorang murid hendaknya menganggap gurunya sebagai seorang pengajar dan pendidik. Sebagai pengajar yang mengajarkan ilmu kepadanya, serta sebagai pendidik yang membimbingnya pada budi pekerti yang baik. Seorang murid kalau tidak percaya pada gurunya dalam hal ini maka dia tidak akan mendapatkan apa yang dia inginkan. Sebagai sebuah gambaran, jika seorang murid ragu-ragu dengan kemampuan ilmu gurunya, bagaimana mungkin dia akan mengambil manfaat darinya.
Imam Nawawi rahimahullah berka­ta: “Hendaklah seorang murid memperhatikan gurunya dengan pandangan penghormatan. Hen­daklah ia meyakini keahlian gu­runya dibandingkan yang lain. Karena hal itu akan menghantarkan seorang murid untuk banyak mengambil manfaat darinya, dan lebih bisa membekas dalam hati terhadap apa yang ia dengar dari gurunya tersebut.”



4.      Akuilah keutamaan gurumu
Khothib al-Baghdadi berkata: “Wajib bagi seorang murid untuk mengakui keutamaan gurunya yang faqih dan hendaklah pula menyadari bahwa dirinya banyak mengambil ilmu dari gurunya.”
Ibnu Jamaah al-Kinani ber­kata: “Hendaklah seorang mu­rid mengenal hak gurunya, jangan dilupakan semua jasanya.”


5.      Doakan kebaikan
Rasululloh bersabda :
وَمَنْ أَتَى إِليْكُم مَعْروفاً فَكَافِئُوه فَإِنْ لَمْ تَجِدوا فَادْعُوا لَهُ، حَتَّى يَعلَمَ أن قَد كَافَئْتُمُوه
“Apabila ada yang berbuat baik kepadamu maka balaslah denganbalasan yang setimpal. Apabila kamu tidak bisa membalasnya, maka doakanlah dia hingga engkau memandang telah mencukupi untuk membalas dengan balasan yang setimpal.” (HR. Abu Dawud 1672, Nasa’i 1/358, Ah­mad 2/68, Hakim 1/412 Bukhori dalam al-Adab al-Mufrod no. 216, Ibnu Hibban 2071, Baihaqi 4/199, Abu Nu’aim dalam al-Hilyah 9/56. Lihat as-Shohihah 254)
Imam Abu Hanifah berkata: “Tidaklah aku sholat sejak kematian Hammad kecuali aku memintakan ampun untuknya dan orang tuaku. Aku selalu me­mintakan ampun untuk orang yang aku belajar darinya atau yang mengajariku ilmu.”
Ibnu Jama’ah berkata: “Hen­daklah seorang penuntut ilmu mendoakan gurunya sepanjang masa. Memperhatikan anak-anaknya, kerabatnya dan menunaikan haknya apabila telah wafat.”
6.      Rendah diri kepada guru
Ibnu Jama’ah rahimahullah berkata: “Hendaklah seorang murid mengetahui bahwa rendah dirinya kepada seorang guru adalah kemuliaan, dan tunduknya adalah kebanggaan.”
Sahabat Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma de­ngan kemuliaan dan kedudukannya yang agung, beliau men­gambil tali kekang unta Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu seraya berkata: “Demikianlah kita diperintah untuk berbuat baik kepada ulama.”
Al-Khothib telah meriwayatkan dalam kitab Jami’nya bahwa Ibnul Mu’taz berkata: “Orang yang rendah diri dalam belajar adalah yang paling banyak ilmunya sebagaimana tempat yang rendah adalah tempat yang pa­ling banyak airnya.”

7.      Mencontoh akhlaknya
Hendaklah seorang penun­tut ilmu mencontoh akhlak dan kepribadian guru. Mencontoh kebiasaan dan ibadahnya. Qoshim bin Salam menceritakan: “Adalah para murid Ibnu Mas’ud mereka belajar kepada­nya untuk melihat akhlak, ke­pribadian dan kemudian menirunya.”
Imam as-Sam’ani rahimahullah menceritakan bahwa majelis Imam Ahmad bin Hanbal dihadiri lima ribu orang. Lima ratus orang menulis, sedangkan selainnya hanya ingin melihat dan meniru adab dan akhlak Imam Ahmad. (Siyar AlamNubala, 11/316)

8.      Membela kehormatan guru
Ketahuilah selayaknya bagi siapa saja yang mendengar orang yang sedang mengghibah kehor­matan seorang muslim, hendaklah dia membantah dan menasehati orang tersebut. Apabila tidak bisa diam dengan lisan maka dengan tangan, apabila orang yang mengghibah tidak bisa dinasehati juga dengan tangan dan lesan maka tinggalkanlah tempat tersebut. Apabila dia mendengar orang yang mengghibah gurunya atau siapa saja yang mempunyai kedudukan, keutamaan dan kesholihan, maka hendaklah dia lebih serius untuk membantahnya. (Shohih al-Adzkar 2/832, Adab at-Tatalmudz hal. 33)
9.      Jangan berlebihan kepada guru
Guru adalah manusia biasa. Tidak harus semua perkataannya diterima mentah-mentah tanpa menimbangnya menurut kaidah syar’iah. Orang yang selalu manut terhadap perkataan guru, bahkan sampai membela mati-matian ucapannya adalah termasuk sikap ghuluw (berlebih-lebihan). Apabila telah jelas kekeliruan guru maka nasehatilah, jangan diikuti kesalahannya. Jangan seorang guru dijadikan tandingan bagi Alloh dalam syariat ini. Alloh berfirman;

اتَّخَذُواْ أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَاباً مِّن دُونِ اللّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُواْ إِلاَّ لِيَعْبُدُواْ إِلَـهاً وَاحِداً لاَّ إِلَـهَ إِلاَّ هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
Artinya :
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rohib-rohib mereka se-bagai Robb-Robb selain Allah, dan (juga mereka menjadikan Robb) Al-Masih putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Ilah Yang Maha Esa; tidak ada Ilah (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Alloh dari apa yang me­reka persekutukan”. (QS. at-Taubah [9]: 31)
Imam Mawardi rahimahullahmengatakan, “Sebagian para pengikut orang alim berbuat ghuluw kepada gurunya. Hingga menja­dikan perkataannya sebagai dalil sekalipun sebenarnya tidak bisa dijadikan dalil. Meyakini ucap­annya sebagai hujjah sekalipun bukan hujjah.” (Adab Dunya hal. 49, Adab at-Tatalmudz hal. 38)


10.  Bila guru bersalah
Sudah menjadi ketetapan yang mapan bahwasanya tidak ada seorang pun yang selamat dari kesalahan. Salah merupakan hal yang wajar terjadi pada ma­nusia. Rosululloh -SHI bersabda;
Seluruh bani Adam banyak bersalah. Dan sebaik-baiknya orang yang ba­nyak bersalah adalah yang bertaubat. (HR. Tirmidzi 2499, Ibnu Majah 4251, Ahmad 3/198, ad-Darimi 273, Hakim 4/244; Lihat Shohih Jami’us Shoghir 4515).
Imam Ibnul Qoyyim berkata: “Barangsiapa yang mempunyai ilmu dia akan mengetahui de­ngan pasti bahwa orang yang mempunyai kemuliaan, mempu­nyai peran dan pengaruh dalam Islam maka hukumnya seperti ahli Islam yang lain. Kadang-kala dia tergelincir dan bersalah. Orang yang semacam ini diberi udzur bahkan bisa diberi pahala karena ijtihadnya, tidak boleh kesalahannya diikuti, kedudukannya tidak boleh dilecehkan di hadapan manusia.” (I’lamul Muwaqqi’in 3/295)’

Bila pelajaran sudah dimulai
Bila pelajaran telah dimulai hendaklah bagi seorang penuntut ilmu memperhatikan hal-hal berikut;
·         Menghadirkan hati dan perhatian dengan seksama
Apabila telah hadir dalam majelis ilmu maka pusatkanlah perhatianmu untuk mendengar dan memahami pelajaran. Jangan biarkan hati menerawang ke-mana-mana. Konsentrasi penuh, karena sikap yang demikian akan membuat pelajaran lebih membekas dan terpahami.
Ibnu Jama’ah berkata: “Hen­daklah seorang murid ketika menghadiri pelajaran gurunya memfokuskan hatinya dari segala kesibukan. Pikirannya penuh konsentrasi, ti­dak dalam keadaan mengantuk, marah, haus, lapar dan lain seba-gainya. Yang demikian agar hati­nya benar-benar menerima dan memahami terhadap apa yang dijelaskan dan apa yang dia de-ngar.” (Tadzkiroh Sami’ hal. 96)
·         Mengenakan pakaian yang bersih
Hal ini harus diperhatikan pula. Hendaklah seorang murid berpakaian yang sopan dan ber­sih. Ingatlah ketika malaikat Jibril bertanya kepada Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau sangat bersih pakaian dan keadaan dirinya. Umar bin Khoththob mengatakan: “Ketika kami duduk di sisi Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu hari, tiba-tiba datang kepada kami seorang laki-laki yang berpakaian sangat putih, rambutnya sangat hitam, tidak terlihat padanya bekas perjalanan jauh.” (HR. Muslim 8, Abu Dawud 4695, Tirmidzi 2610, Nasa’i 8/97, Ibnu Majah 63 dan selainnya.)
Karena kondisi yang bersih menandakan bahwa seorang murid siap menerima pelajaran dan ilmu. Maka jangan salah-kan apabila ilmu tidak mere-sap dalam dada karena kondisi kita yang kurang siap, pakaian penuh keringat, kepanasan dan sebagainya.
·         Duduk dengan tenang
Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin berkata: “Duduklah dengan duduk penuh adab. Jangan engkau luruskan kakimu di hadapannya, ini termasuk adab yang jelek. Jangan duduk dengan bersandar, ini juga adab yang jelek apalagi di tempat be­lajar. Lain halnya jika engkau duduk di tempat umum, maka ini lebih ringan.” (at-Ta’liq as-Tsamin hal. 181)
·         Bertanya kepada guru
Ilmu adalah bertanya dan menjawab. Dahulu dikatakan, “Bertanya dengan baik adalah setengah ilmu.” (Fathul Bari 1/142). Bertanya dengan tenang, tidak tergesa-gesa dan pergunakanlah bahasa yang santun lagi sopan. Jangan guru itu dipanggil dengan namanya, katakanlah wahai guruku dan semisalnya. Karena guru perlu dihormati, jangan disamakan de­ngan teman. Alloh berfirman yang artinya :
                                                                    لَا تَجْعَلُوْ دُعَاءَ الرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَاءِ بَعْضِكُمْ بَضًا
“ Janganlah kamu jadikan panggilan Rosul di antara kamu seperti pang­gilan sebahagian kamu kepada seba-hagian (yang lain)” (QS. an-Nur [24]: 63).
Ayat ini adalah pokok untuk membedakan orang yang punya kedudukan dengan orang yang biasa. Harap dibedakan keduanya.
Perhatian. Sering kita jumpai se­bagian para penuntut ilmu memaksa gurunya untuk menjawab dengan dalil atas sebuah pertanyaan. Seolah-olah sang murid belum puas dan terus mendesak seperti berkata kenapa begini, soya belum terima, siapa yang ber­kata demikian, semua ini harus dihindari. Pahamilah wahai saudaraku, guru adalah manusia biasa, bisa lupa dan bersalah. Apabila engkau pandang gurumu salah atau lupa dengan dalilnya maka janganlah engkau memaksa terus dan jangan memalingkan muka darinya. Berilah waktu untuk mendatangkan dalil di kesempatan lain. Jagalah adab ini, jangan sampai sang guru menjadi jemu, marah hanya karena melayani pertanyaanmu.
Syaikh al-Albani berkata: “Kadangkala seorang alim tidak bisa mendatangkan dalil atas se­buah pertanyaan, khususnya apa­bila dalilnya adalah sebuah istinbat hukum yang tidak dinashkan secara jelas dalam al-Qur’an dan Sunnah. Semisal ini tidak pantas bagi penanya untuk terlalu mendalam bertanya akan dalilnya. Menyebutkan dalil adalah wajib ketika realita menuntut demikian. Akan tetapi tidak wajib baginya acapkali ditanya harus menjawab Allah berfirman demikian, Rosul bersabda demikian, lebih-lebih dalam perkara fiqih yang rumit yang diperselisihkan.


·         Perhatikan keadaan gurumu
Memperhatikan keadaan guru merupakan perkara yang penting. Karena mengajar butuh persiapan yang penuh. Jangan bertanya atau meminta belajar ketika kondisi guru tidak siap, semisal sedang sibuk, banyak permasalahan, sedih dan sebagainya.
Imam Nawawi rahimahullah berkata: “Janganlah engkau meminta belajar kepadanya ketika dia sibuk, sedang sedih, kelelahan, dan Iain-lain, karena hal itu akan menyebabkan dia malas untuk menjelaskan pelajaran kepadamu.”
C.  Bahaya yang ditimbulkan akibat kita tidak menghormati para Ulama
1.    Menghina ulama akan menyebabkan rusaknya agama
Berkata Al-Imam Ath-Thahawi –rahimahullah- : “Ulama salaf dari kalangan ulama terdahulu, demikian pula para tabi’in, harus disebut dengan kebaikan. Maka siapa yang menyebut mereka dengan selain kebaikan maka dia berada di atas kesesatan”
Berkata Al-Imam Ibnul Mubarak –rahimahullah- : “Siapa yang melecehkan ulama, akan hilang akhiratnya. Siapa yang melecehkan umara’ (pemerintah), akan hilang dunianya. Siapa yang melecehkan teman-temannya, akan hilang kehormatannya”
Dan mencela ulama termasuk diantara dosa-dosa besar.
2.    Orang yang menghina ulama sama artinya dia mengumumkan perang kepada Allah.
Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits tentang wali Alloh yang diriwayatkan Al-Imam Al-Bukhari  -rahimahullah- dari Abu Hurairah –radhiyallohu ‘anhu- :
                        عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم
                                    بِالْحَرْبِ   – …رواه البخاري إِنَّ اللهَ تَعَالَى قَالَ : مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ
Dari Abu Hurairah”Sesungguhnya Allah ta’ala telah berfirman : ‘Barang siapa memusuhi wali-Ku, maka sesungguhnya Aku menyatakan perang terhadapnya… [HR. Al Bukhari]
Dan para ulama, mereka adalah termasuk wali-wali Allah.
3.    Orang yang menghina ulama sengaja mencampakkan dirinya untuk terkena do’a dari seorang alim yang terzhalimi
Hal ini sebagaimana kisah salah seorang Shahabat yang bermana Sa’ad bin Abi Waqqash –radhiyallohu ‘anhu- dan beliau termasuk salah seorang dari 10 Shahabat yang dijamin dengan Surga.
4.    Orang yang mencibir para ulama maka ia akan dijerumuskan kepada apa yang ia tuduhkan kepada ulama itu.
Berkata Ibrahim An-Nakha-i –rahimahullah- “Aku mendapati dalam jiwaku keinginan untuk membicarakan aib seseorang; akan tetapi yang mencegahku dari membicarakannya adalah aku khawatir jika aib orang itu ternyata menimpa diriku”
5.    Orang yang merasa lezat dengan meng-ghibah para ulama maka ia akan diberikan su-ul khatimah (akhir kehidupan yang jelek)
Al-Qadhi Az-Zubaidi, ketika dia meninggal dunia lisannya berubah menjadi hitam, hal ini dikarenakan dia suka mencibir Al-Imam An-Nawawi
6.    Daging para ulama itu beracun
Berkata Imam Ahmad bin Hanbal –rahimahullah- : “Daging para ulama itu beracun. Siapa yang menciumnya maka ia akan sakit. Siapa yang memakannya maka ia akan mati.”
7.    Mencela ulama merupakan sebab terbesar bagi seseorang untuk terhalangi dari dapat mengambil faidah dari ilmu para ulama.
Berkata Al-Imam Hasan Al-Bashri –rahimahullah- : “Dunia itu seluruhnya gelap, kecuali majelis-majelisnya para ulama.”
8.    Dengan dicelanya ulama akan mengakibatkan ulama dijauhkan dari medan dakwah
Sebagaimana hal ini datang dari kalangan harokah (orang-orang pergerakan), mereka memisahkan antara ulama dengan da’i. Mereka menyangka –dengan persangkaan mereka yang bathil- bahwa ulama itu hanya bisa duduk di kursi dan menyampaikan ilmu, akan tetapi mereka tidak memahami realita (fiqhul waqi’). Sedangkan yang memahami waqi’ adalah para da’i yang terjun langsung ke medan dakwah. Sehingga para ulama itu tidak bisa dijadikan rujukan dalam menghadapi peristiwa-peristiwa kekinian, dan yang dijadikan rujukan adalah orang-orang yang mereka anggap sebagai da’i.
Kemudian, beliau –hafizhahullah- menjelaskan beberapa sebab yang menyebabkan manusia tidak menghormati para ulama. Diantaranya:
1.    Belajar sendiri (otodidak) atau hanya berguru kepada kitab tanpa mau duduk di majlis para ulama
Diantara dampak buruk dari otodidak adalah :
  • Orang ini akan mengukur dengan keadaan dirinya sendiri, sehingga dengan mudahnya dia memandang dirinya sebagai orang alim
  • Orang ini akan kehilangan suri tauladan dalam adab dan akhlaq
Dahulu para salaf melarang orang yang belajar secara otodidak untuk berfatwa.
Al-Imam Asy-Syafi’i –rahimahullah- berkata : “Siapa yang bertafaqquh dari perut-perut kitab, maka ia akan menyia-nyiakan hukum.” Kemudian beliau bersya’ir :
Siapa yang mengambil ilmu langsung dari guru, maka dia akan terhindar dari kesesatan
Siapa yang mengambil ilmu dari buku-buku, maka ilmunya di sisi para ulama seperti tidak ada
2.    Terlalu tergesa-gesa untuk menjadi da’i sebelum menghasilkan batasan paling rendah dari ilmu dengan alasan untuk berdakwah
Termasuk aib, jika seorang yang memposisikan dirinya sebagai da’i /Ustadz dan dia mengajar ke sana dan ke sini akan tetapi dia tidak bisa berbahasa arab.
Umar bin Khaththab –radhiyallohu ‘anhu- : Bertafaqquhlah kalian sebelum kalian diangkat menjadi pemimpin.
Imam Asy-Syathibi –rahimahullah- berkata : Orang yang masih rendah ilmunya dan memposisikan dirinya sebagai ulama maka ia akan terluput dari kebaikan yang sangat banyak.
Dan mengambil ilmu dari orang-orang yang rendah ilmunya akan menjadikan orang-orang awam menyangka bahwa orang itu adalah ulama. Sehingga memalingkan mereka dari ulama yang sesungguhnya.
3.    Sifat sok tahu
Orang yang sok tahu dan merasa pintar, maka engkau akan dapati mereka adalah orang-orang yang dangkal ilmunya akan tetapi memposisikan diri mereka seperti ulama, maka mereka itu akan ditimpa oleh penyakit ujub (bangga kepada dirinya sendiri).
Berkata Mu’awiyah bin Abi Sufyan –radhiyallohu ‘anhuma- : Orang yang paling tertipu adalah orang para qari’ (pembaca al-qur’an) akan tetapi ia tidak faham apa yang terkandung di dalamnya. Kemudian dia mengajar anak-anak dan wanita , yang dengan itu dia merasa besar kemudian berani mendebat para ulama.
4.    Terpengaruh oleh kebebasan berpendapat gaya barat. Sehingga menganggap setiap orang boleh berbicara tentang agama menurut akal mereka walaupun tanpa ilmu.
Sebagaimana hal ini banyak kita lihat dan saksikan pada zaman kita ini. Di mana orang yang paling awam tentang agama berbicara dengan sebebas-bebasnya tentang agama ini, mengatakan seenaknya tentang kitab Allah dan Sunnah NabiNya.
Disebutkan dalam hadits, tentang tahun-tahun yang menipu dan munculnya para ruwaibidhah:
5.    Fanatik Hizbi / Fanatik Golongan
Syaikhul Islam berkata : Tidak boleh menisbatkan diri kepada seorang syaikh atau sebuah kelompok dan memberikan loyalitas di atasnya.
6.    Tidak adanya ketelitian dalam menukil dan menyampaikan khabar tentang ulama
  
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Adab ialah mencerminkan baik buruknya seseorang, mulia atau hinanya seseorang, terhormat atau tercelanya nilai seseorang.
Adab terhadap guru adalah Jangan mencari guru sembarangan, Ikhlas sebelum melangkah, Mengagungkan guru, Akuilah keutamaan gurumu, Doakan kebaikan, Rendah diri kepada guru, Mencontoh akhlaknya, Membela kehormatan guru, Jangan berlebihan kepada guru, dan Bila guru bersalah

B. KRITIK DAN SARAN
Dari pemaparan kami di atas masih banyak kekeliruan atau kesalahan dalam penulisan, oleh karna itu kami mohon kritik dan sarannya agar kami bisa belajar dan memperbaiki kesalahan kami. Semoga makalah ini bermanfaat bagi semua pihak. Atas kekurangannya kami mohon maaf.
  

DAFTAR PUSTAKA
Syaikh al ‘Utsaimin, Muhammad bin Shalih. 2005 M/1426 H. “ Syarah Adab & Manfaat Menuntut Ilmu”. Jakarta : Pustaka Imam Asy-Syafi’i

1 komentar:

  1. Slots and table games at Harrah's Resort Southern California
    What's inside 김포 출장안마 and outside of 제주도 출장안마 Harrah's Resort 순천 출장샵 Southern California? Play over 고양 출장안마 200 different slots, table 광주광역 출장안마 games, and more, all in one place!

    BalasHapus

Tulisan yang sering dibaca...

Template developed by Confluent Forms LLC; more resources at BlogXpertise