Tulisan Lain
Menunggu...

4 November 2015

Sejarah Pendidikan Islam: Perguruan Tinggi Tertua Islam

MAKALAH

Disampaikan Untuk Memenuhi Tugas Kuliah
Yang Dipresentasikan Di Seminar Kelas Mata Kuliah Sejarah Pendidikan Islam


Oleh :
Joko Wahyu Sampurno
Muhammad Syafi



Sekolah Tinggi Agama Islam Luqman Al-Hakim
Jurusan Manajemen Pendidikan Islam
Surabaya


KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kepada kita nikmat yang sempurna, yaitu nikmat Islam. Bagi-Nya segala puji apa yang di langit dan di bumi, di dunia hingga akhirat. Bagi-Nya segala syukur atas kebaikan dianugerahkan kepada semua manusia. Semoga nikmat-Nya selalu diabadikan kepada kita selama-lamanya. Semoga kita diberi kekuatan untuk bersyukur kepada-Nya.
Pada kesempatan ini, pemakalah hendak menyajikan “Perguruan Tinggi Tertua Islam”, dengan keterbatasan waktu maupun referensi dalam menyajikan makalah ini, tentu banyak sekali kekurangan dalam makalah yang saya buat ini. Sehingga pemakalah memohon maaf yang sebesar-besarnya atas kesalahan pemakalah.
Semoga dapat menambah pengetahuan dan khazanah, Insya Allah.









Penulis


BAB I
PENDAHULUAN

Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam mewariskan kepada umatnya bukan dengan sebuah harta benda ataupun jabatan, melainkan dengan warisan keilmuan. Khazanah keilmuan inilah yang dahulu orang-orang Barat pernah menimba sampai ulama-ulama Muslim kita. Banyak sekali ulama-ulama terdahulu kita yang mahir dalam bidang medis, astronomi dan lain sebagainya.
Peran para ulama-ulama tidak lepas dari perguruan-perguruan tinggi Islam yang banyak dimulai dari halaqah-halaqah di halaman Masjid. Dari sekian banyak, ada 3 perguruan tinggi tertua Islam yang masih beroperasi sampai sekarang. Seperti Universitas Al-Azhar, Universitas Sankore, dan Universitas Al-Qarawiyyin.
Maka akan sedikit ulasan dari 3 perguruan tinggi Islam tertua tersebut.




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Dinasti Fathimiyah dan Universitas Al-Azhar
Fatimiyah, atau al-Fāthimiyyūn  ialah penguasa Syi’ah yang berkuasa di berbagai wilayah di Maghreb, Mesir, dan Syam dari 5 Januari 910 hingga 1171. Negeri ini dikuasai oleh Ismailiyah, salah satu cabang Syi'ah. Pemimpinnya juga para imam Syiah, jadi mereka memiliki kepentingan keagamaan terhadap Isma'iliyyun. Kadang dinasti ini disebut pula dengan Bani Ubaidillah, sesuai dengan nama pendiri dinasti.
Fatimiyah berasal dari suatu tempat yang kini dikenal sebagai Tunisia ("Ifriqiya") namun setelah penaklukan Mesir sekitar 971, ibukotanya dipindahkan ke Kairo. Di masa Fatimiyah, Mesir menjadi pusat kekuasaan yang mencakup Afrika Utara, Sisilia, pesisir Laut Merah Afrika, Palestina, Suriah, Yaman, dan Hijaz. Di masa Fatimiyah, Mesir berkembang menjadi pusat perdagangan luas di Laut Tengah dan Samudera Hindia, yang menentukan jalannya ekonomi Mesir selama Abad Pertengahan Akhir yang saat itu dialami Eropa.
Fatimiyah didirikan pada 909 oleh ˤAbdullāh al-Mahdī Billa, yang melegitimasi klaimnya melalui keturunan dari Nabi Muhammad dari jalur Fāthimah az-Zahra dan suaminya ˤAlī ibn-Abī-Tālib, {Imām Shīˤa pertama. Oleh karena itu negeri ini bernama al-Fātimiyyūn "Fatimiyah". Dengan cepat kendali Abdullāh al-Mahdi meluas ke seluruh Maghreb, wilayah yang kini adalah Maroko, Aljazair, Tunisia dan Libya, yang diperintahnya dari Mahdia, ibukota yang dibangun di Tunisia. Fatimiyah memasuki Mesir pada 972, menaklukkan dinasti Ikhshidiyah dan mendirikan ibukota baru di al-Qāhirat "Sang Penunduk" (Kairo modern)- rujukan pada munculnya planet Mars. Mereka terus menaklukkan wilayah sekitarnya hingga mereka berkuasa dari Tunisia ke Suriah dan malahan menyeberang ke Sisilia dan Italia selatan.
Kemajuan Fatimiyah dalam administrasi negara lebih berdasarkan pada kecakapan daripada keturunan. Anggota cabang lain dalam Islām, seperti Sunni, sepertinya diangkat ke kedudukan pemerintahan sebagaimana Syi'ah. Toleransi dikembangkan kepada non-Muslim seperti orang-orang Kristen dan Yahudi, yang mendapatkan kedudukan tinggi dalam pemerintahan dengan berdasarkan pada kemampuan (pengecualian pada sikap umum toleransi ini termasuk "Mad Caliph" Al-Hakim bi-Amrillah).
Pada 1040-an, Ziriyah (gubernur Afrika Utara pada masa Fatimiyah) mendeklarasikan kemerdekaannya dari Fatimiyah dan berpindahnya mereka ke Islām Sunnī, yang menimbulkan serangan Banū Hilal yang menghancurkan. Setelah 1070, Fatimiyah mengendalikan pesisir Syam dan bagian Suriah terkena serangan bangsa Turki, kemudian Pasukan Salib, sehingga wilayah Fatimiyah menyempit sampai hanya meliputi Mesir.
Setelah terjadi pembusukan sistem politik Fatimiyah pada 1160-an, penguasa Zengid Nūr ad-Dīn memerintahkan jenderalnya, Salahuddin Ayyubi, menaklukkan Mesir pada 1169, membentuk Dinasti Ayyubi Sunni. Berikut para pemimpin Dinasti Fathimiyah :
4.      Abū Tamīm Ma'add al-Mu'izz li-Dīn Allāh (953-975) Mesir ditaklukkan semasa pemerintahannya
9.      al-Musta'lī bi-llāh (1094-1101) pertikaian atas suksesinya menimbulkan perpecahan Nizari.
10.  al-Āmir bi-Aḥkām Allāh (1101-1130) Penguasa Fatimiyah di Mesir setelah tak diakui sebagai Imam oleh tokoh Ismailiyah Mustaali Taiyabi.
Perjalanan panjang Al-Azhar yang kini sudah lebih 1000 tahun sejak dibangun pertama kali pada 29 Jumada Al Ula 359 H (970 M) oleh panglima Jauhar Ash Shiqillialu dibuka resmi dan shalat Jum’at bersama pada 7 Ramadhan 361 H, lembaga besar ini mulanya masjid. Al-Azhar adalah salah satu pusat utama pendidikan sastra Arab dan pengkajian Islam Sunni di dunia dan merupakan universitas pemberi gelar tertua kedua di dunia.
Seiring gelombang pasang surut sejarah, berbagai bentuk pemerintahan silih berganti memainkan peranannya di lembaga tertua ini, selain sebagai masjid, proses penyebaran faham Syi’ah turut mewarnai aktivitas awal yang dilakukan Dinasti Fathimi, khususnya di penghujung masa khalifah Al Muiz li Dinillah ketika Qodhil Qudhoh Abu Hasan Ali bin Nu’man Al-Qairiwani mengajarkan fiqh Mazhab Syi’ah, dari kitab Mukhtasyar yang merupakan pelajaran agama pertama di Masjid Al Azhar pada bulan Shafar 365 H (Oktober 975 M)
Sesudah itu proses belajar terus berlanjut penekanan utama pada ilmu-ilmu agama dan bahasa, walaupun tanpa mengurangi perhatian terhadap ilmu manthiq, filsafat kedokteran dan ilmu falak sebagai tambahan yang diikutsertakan. Namun semenjak Shalahuddin Al Ayyubi memegang pemerintahan Mesir (tahun 567 H/1171 M), Al Azhar sempat diistirahatkan sementara waktu sambil dibentuk lembaga pendidikan alternative guna mengikis pengaruh Syi’ah. Disinilah mulai dimasukkan perubahan orientasi besar-besaran dari Mazhab Syi’ah ke Mazhab Sunni yang berlaku hingga sekarang meski tak dipungkiri paham Syi’ah dari sudut akademis masih tetap dipelajari.
Fase Reformasi
Pembaharuan Administrasi pertama Al Azhar dimulai pada masa pemerintahan Sulthan Ad Dhahir Barquq (784 H/1382 M) dimana ia mengangkat amir Bahadir At Thawasyi sebagai direktur pertama Al Azhar tahun 784 H/1382 M ini terjjadi dalam masa kekuasaan mamalik di Mesir. Upaya ini merupakan usaha awal untuk menjadikan Al Azhar sebagai yayasan keagamaan yang mengikuti pemerintah.
System ini terus hingga pemerintahan Utsmani menguasai mesir dipenghujung abad 11 H ditandai dengan pengangkatan “Syaikh Al ‘Umumy” yang digelar dengan Syaikh Al Azhar sebagai figure sentral yang mengatur berbagai keperluan pendidikan, pengajaran, keuangan, fatwa hukum, termasuk tempat mengadukan segala persoalan. Pada fase ini terpilih Syaikh Muhammad Al Khurasyi (1010-1101 H) sebagai Syaikh Al Azhar pertama.
Masa keemasan Al Azhar terjadi pada abad 9 H (15 M) banyak ilmuan dan ulama Islam bermunculan di Al Azhar saat itu, seperti Ibnu Khaldun, Al Farisi, As-Syuyuthi, Al ‘Aini, Al Khawi, Abdul Lathif Al Baghdadi, Ibnu Khaliqon, Al Maqrizi dan lainnya yang banyak mewariskan ensiklopedi Arab.
Iklim kemunduran kembali hadir ketika dinasti Utsmani berkuasa di Mesir (1517-1798 M) Al Azhar mulai kurang berfungsi disertai kepulangan para ulama dan mahasiswa yang berangsur-angsur meninggalkan Kairo. Kepemimpinan Ali Pasha di Mesir pada tahap berikutnya telah membentuk system pendidikan yang parallel tapi terpisah, yaitu pendidikan tradisional dan pendidikan modern sekuler, ia juga berusaha meciutkan perananan Al Azhar antara lain dengan menguasai badan Wakaf Al Azhar yang merupakan urat nadinya.
Sejak awal abad 19, system pendidikan barat mulai diterapkan di sekolah-sekolah Mesir. Sementara Al Azhar masih saja menggunakan system tradisional. Dari sini muncul sura pembaharuan, diantara pembaharuan yang menonjolkan adalah dicantumkannya system ujian untuk mendapatkan ijazah Al ‘Alamiyah (kesarjanaan) Al Azhar pada Februari 1872 M, juga pada tahun 1896 M, buat pertama kali dibentuk Idarah Al Azhar (Dewan Adminitrasi). Usaha dari dewan ini adalah membagi masa belajar Al Azhar menjadi dua periode : pendidikan dasar 8 tahun serta menengah dan tinggi 12 tahun. Kurikulum Al Azhar ikut diklasifikasi dalam dua kelas : Al ‘Ulum Al Manqulah (Bidang Study Agama) Al ‘Ulum Al Manqulah (Bidang Study Umum).
Al Azhar Kini
Pada abad 21, Al Azhar memandang perlunya system penelitian oleh Universitas di Barat, dan mengirim alumni terbaiknya untuk belajar ke Eropa dan Amerika. Tujuannya adalah mengikuti perkembangan ilmiah Internasional sekaligus upaya perbandingan dan pengukuhan pemahaman Islam yang benar. Cukup banyak duta Al Azhar yang berhasil meraih gelar Ph.D dari universitas luar tersebut, diantaranya Syekh DR. Abdul Halim Mahmud, Syekh DR. Muhammad Al Bahy, dan banyak lagi.
Sebelumnya, pada 1930 M, keluar UU no 49 mengatur Al-Azhar mulai dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi, dan membagi Universitas Al Azhar menjadi tiga fakultas yaitu : Syari’ah, Usuluddin, dan Bahasa Arab.
Angin pembaharuan kembali berhembus pada 5 Mei 1961 M dimasa kepemimpinan Syekh Mahmoud Syalthout. Undang-undang pembaharuan ini disebut undang-undang revolusi Mesir nomor 103 tahun 1961 M, undang-undang ini memberikan kemungkinan besar lulusan SD atau SMP Al Azhar untuk melanjutkan studinya ke SMP atau SMA milik Departemen pendidikan atau sebaliknya. Dalam lingkup pendidikan tinggi, selain fakultas-fakultas keIslaman, ditambah pula berbagai fakultas baru seperti : Tarbiyah, Kedokteran, Perdagangan/Ekonomi, Sains, Pertanian, Teknik, Farmasi, dan sebagainya. Juga dibangun fakultas khusus putri (Kulliyatul Banat) dengan berbagai jurusan.
Fakultas-fakultas
Saat ini Al Azhar mempunyai 41 fakultas. 19 fakultas berada di Kairo, dan selebihnya tersebar di berbagai provinsi. Ada sedikit perbedaan antara fakultas Al Azhar putra dan fakultas Al Azhar putri.
Fakultas Putra di provinsi Kairo:
  1. Fakultas Bahasa Arab
  2. Fakultas Dirasat Islamiyah
  3. Fakultas Teknik
  4. Fakultas Pertanian
  5. Fakultas Fakultas Teknik Pertanian
  6. Fakultas Kedokteran
  7. Fakultas Kedokteran Gigi
  8. Fakultas Farmasi
  9. Fakultas Sains dan Matematika
  10. Fakultas Perdagangan
  11. Fakultas Adab dan Humaniora
  12. Fakultas Hukum
  13. Fakultas Ushuluddin
  14. Fakultas Kejuruan Al Azhar
  15. Fakultas Media Informasi
  16. Fakultas Pendidikan
  17. Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan
  18. Fakultas Dakwah
Fakultas Putra di luar provinsi Kairo:
  1. Fakultas Kedokteran (Dumyat)
  2. Fakultas Teknik (Qina)
  3. Fakultas Syari'ah wal Qonun (Asyut)
  4. Fakultas Ushuluddin wal Dakwah (Manshourah)
  5. Fakultas Ushuluddin wal Dakwah (Minoufiyah)
  6. Fakultas Bahasa Arab (Minoufiyah)
  7. Fakultas Bahasa Arab (Girja)
  8. Fakultas Syari'ah wal Qonun (Tanta)
  9. Fakultas Dirasat Islamiyah (Qina)
  10. Fakultas Bahasa Arab (Zaqaziq)
  11. Fakultas Sains (Asyut)
  12. Fakultas Dirasat Islamiyah (Aswan)
  13. Fakultas Tarbiyah (Tafahna Al-Asyraf)
  14. Fakultas Bahasa Arab (Asyut)
  15. Fakultas Syari'ah (Damanhur)
  16. Fakultas Kedokteran Gigi (Asyut)
  17. Fakultas Al-Quran dan Qiraat wa Ulumiha (TANTA)

Fakultas Puteri di provinsi Kairo:
  1. Fakultas Ekonomi
  2. Fakultas Psikologi
  3. Fakultas Farmasi
  4. Fakultas Kedokteran
  5. Fakultas Dirasat Islamiyah
  6. Fakultas Kedokteran Gigi
  7. Fakultas Sains dan Matematika
  8. Fakultas Teknik
Fakultas Puteri di luar provinsi Kairo:
  1. Fakultas Dirasat Islamiyah (Alexandria)
  2. Fakultas Dirasat Islamiyah (Asyut)
  3. Fakultas Dirasat Islamiyah (Sohaj)
  4. Fakultas Agama Untuk Putri (Asir Ramadhan)
  5. Fakultas Agama Untuk Putri (Thaybah)
  6. Fakultas Ekonomi Dalam Negeri (Tanta)
  7. Fakultas Dirasat Islamiyah (Manshourah)
Program Akademi
Pada setiap fakultas di Al Azhar terdapat 3 program; program S1, S2, dan S3. Program S1 dengan masa kuliah 4 tahun, kecuali pada fakultas Syari’ah dan Hukum Umum yang mempunyai masa kuliah 5 tahun. Lulusan program ini mendapat gelar Licence (Lc). Ketentuan-ketentuan pada program ini, untuk bisa naik ke tingkat selanjutnya mahasiswa harus lulus pada setiap mata kuliah atau maksimal dua mata kuliah yang tertinggal.
Program Master (S2), masa kuliah program ini hanya 2 tahun, ditambah dua tahun lagi untuk menulis risalah (thesis) untuk meraih gelar Master of Art (MA). Persyaratan untuk masuk program ini harus hafal 8 juz Al Qur’an bagi mahasiswa non Arab, dan 30 juz bagi mahasiswa asal Arab.
Program Doktor (S3), pada program ini tidak ada masa kuliah lagi. Jadi langsung menulis disertasi untuk meraih gelar doctor. Tema disertasi juga harus mendapatkan persetujuan dari dosen pembimbing.
Tokoh, Alumni dan Karyanya :
Abu al-Qosim al-Manfaluti, Syamsuddin al-Suyuti, Syihabuddin al-Shuhraqardi, Syamsuddin Ibn Khalkan, Ibn Daqiq al’sh (ulama fiqh), Ibnu Hisyam (ahli sirah), Taqiyuddin Subkhi Ibn Makram (penulis Lisanul Arab), Ibn ‘Aqil (ahli Nahwu), al-Balqini, al-Fairuz Badi (penulis Qamus al-Muhith), al-Maqrizi, Ibn Hajar al-Atsqolani (ahli Hadits), al-Suyuti, Ibn Ilyas (Sejarahwan).
B.     Universitas Qarawiyyin

Universitas Al-Qarawiyyin atau Al-Karaouine (transliterasi dari nama lainnya meliputi Qarawiyin, Kairouyine, Kairaouine, Qairawiyin, Qaraouyine, Quaraouiyine, Quarawin, dan Qaraouiyn) adalah universitas pertama di dunia yang berlokasi di Fes, Maroko yang didirikan pada tahun 859. Universitas ini telah dan terus menjadi salah satu pusat spiritual dan pendidikan terkemuka dari dunia Muslim. Dikisahkan, di awal abad ke-9 M, ketika Fez masih seperti sebuah dusun, sang penguasa wilayah itu berdo’a sembari menangis. “Ya Allah, jadikanlah kota ini sebagai pusat hokum dan ilmu pengetahuan, tempat di mana kitab suciMu al-Qur’an akan dipelajari dan dikaji.”
Cikal bakal Universitas Al-Qarawiyyin bermula dari aktivits diskusi yng digelar di masjid itu. Komunitas Qairawaniyyin masyarakat pendatang yang berasal dari Qairawan, Tunisia di kota Fez menggelar diskusi itu di emper Masjid Al-Qarawiyyin. Umat Islam di kota Fez pada abad ke-9 M juga menjadikannya sebagai tempat untuk membahas perkembangan politik. Lambat laun materi yang diajarkan dan dibahas dalam diskusi berkembang, tak cuma mengkaji al-Qur’an dan Fiqh saja.
Sejak itulah, aktivitas keilmuan di Masjid Al-Qarawiyyin berubah menjadi kegiatan keilmuan bertaraf perguruan tinggi. Jumlah pendaftar yang berminat untuk menimba ilmu di universitas itu begitu meluber. Sehingga, pihak universitas menerapkan system seleksi yang ketat bagi para calon mahasiswanya. Seorang calon mahasiswa harus selesai mempelajari seluruh Al-Qur’an serta menguasai bahasa Arab dan ilmu-ilmu umum.
Universitas tertua di dunia itu tercatat berhasil mengumpulkan sejumlah risalah penting dari berbagai disiplin ilmu. Kompilasi manuskrip penting itu disimpan di perpustakaan yang didirikan oleh Sultan Abu-Annan, penguasa Dinasti Marinid. Beberapa risalah penting yang tersimpan di perpustakaan antara lain; ‘Mutta of Malik’, ditulis tahun 795 M; Sirat Ibn Ahmed al-Mansur al-Dhahabi kepada universitas tahun 1602.
Selain itu, perpustakaan itu juga menyimpan salinan asli buku karya Ibnu Khaldun berjudul ‘Al-Ibar’. Ilmuwan Muslim terkemuka itu menghadiahkan buku yang dituliskan itu kepada perpustakaan tahun 1396 M. Universitas Al-Qarawiyyin tercatat sebagai salah satu perguruan tinggi yang prestisius di abad pertengahan.
Peradaban Barat tampaknya turut berutang budi kepada Universitas Al-Qarawiyyin. Betapa tidak, di abad pertengahan perguruan tinggi yang terletak di kota Fez itu memegang peranan penting dalam pertukaran kebudayaan dan pengetahuan yang berkembang di universitas tersebut ke Eropa dilakukan melalui sejumlah ilmuwan Muslim yang mengajar atau belajar di kota Fez.
Para ilmuwan itu antara lain; filosof dan ahli agama Yahudi, Ibnu Maimun (1135-1204 M) yang dididik oleh Abdul Arab Ibnu Muwashah di Al-Qarawiyyin; Geografer dan katrografer (pembuat peta) Al-Idrissi (wafat 1166 M) juga pernah bekerja serta belajar di universitas ini. Selain itu, sejumlah ilmuwan Muslim lainnyan yang juga sempat mengajar di perguruan tinggi pertama di dunia itu antara lain; Ibn Al-‘Arabi (1165-1240), Ibnu Khaldun (1332-1395), Ibnu Al-Khatib, Alpetragius, Al-Bitruji, dan Ibnu Harazim.
Praktek kuliah di Masjid Qarawiyyin menggunakan system halaqah. Pelajar pria dan wanita kuliah dalam tempat terpisah. Mimbar-mimbar masjid sering digunakan pengajar dan ilmuwan tamu untuk memberikan materi pada saat seminar atau kuliah dengan jumlah peserta yang banyak. Terdapat puluhan halaqah yang menyebar di berbagai sudut masjid ini, sesuai dengan mata kuliah dan jadwalnya. Universitas Qarawiyyin pun sering mengirimkan sejumlah ilmuwannya untuk mentransfer ilmu pengetahuan ke berbagai universitas di dunia, seperti Universitas Bologna, Universitas Sankore, Universitas Al-Azhar, dan Universitas Granada.

C.    Universitas Sankore
Tinta emas sejarah peradaban Islam mencatat perguruan tinggi yang berada di Timbuktu, Mali, Afrika Barat, itu selama empat abad lamanya sempat menjelma menjadi lembaga pendidikan berkelas dunia.
Meski tak setenar Universitas Al-Azhar di Mesir dan Universitas Al-Qarawiyyin di Maroko, pada era kejayaan Islam Universitas Sankore telah menjadi obor peradaban dari Afrika Barat. Laiknya magnet, perguruan tinggi yang berdiri pada 989 M itu mampu membetot minat para pelajar dari berbagai penjuru dunia Islam untuk menimba ilmu di universitas itu.
Pada abad ke-12 saja, jumlah mahasiswa yang menimba ilmu di Universitas Sankore mencapai 25 ribu orang. Dibandingkan Universitas New York di era modern sekalipun, jumlah mahasiswa asing yang belajar di Universitas Sankore pada sembilan abad yang lampau masih jauh lebih banyak. Padahal, jumlah penduduk Kota Timbuktu di masa itu hanya berjumlah 100 ribu jiwa.
Penulis asal Prancis, Felix Dubois dalam bukunya bertajuk, Timbuctoo the Mysterious, Universitas Sankore menerapkan standar dan persyaratan yang tinggi bagi para calon mahasiswa dan alumninya. Tak heran jika universitas tersebut mampu menghasilkan para sarjana berkelas dunia.
Universitas Sankore diakui sebagai perguruan tinggi berkelas dunia. Karena, lulusannya mampu menghasilkan publikasi berupa buku dan kitab yang berkualitas. Buktinya, baru-baru ini di Timbuktu, Mali, ditemukan lebih dari satu juta risalah. Selain itu, di kawasan Afrika Barat juga ditemukan tak kurang dari 20 juta manuskrip.
Jumlah risalah sebanyak itu dengan tema yang beragam dinilai kalangan sejarawan sungguh sangat fenomenal. “Koleksi risalah kuno yang ditinggalkan kepada kita di Universitas Sankore membuktikan daya tarik dan kehebatan institusi pendidikan tinggi itu,” papar Sejarawan Runoko Rashidi. Menurutnya, fakta sejarah itu sungguh menarik untuk kembali diungkap.
Jutaan risalah yang dihasilkan para ilmuwan dan ulama di Universitas Sankore sungguh luar biasa kaya. Baik dalam gaya, isi, serta menggambarkan kedalaman pengetahuan dan intelektualitas para pelajar dan sarjananya. “Fakta ini juga mampu mematahkan mitos selama ini yang menyatakan bahwa masyarakat Afrika lebih dominan dengan budaya tutur,” cetus Emad Al-Turk, pimpinan dan salah satu pendiri Internasional Museum of Muslim Cultures (IMMC).
Menurut Emad, temuan jutaan manuskrip kuno dari Universitas Sankore itu membuktikan bahwa masyarakat Afrika memiliki budaya baca dan kebudayaan yang sangat tinggi. Apalagi pada abad ke-12 hingga 16 M, fakta membuktikan bahwa perdagangan buku di Mali sangat pesat dan merupakan bisnis yang menguntungkan. “Itu membuktikan bahwa masyarakat Afrika Barat sangat gemar membaca dan gandrung pada ilmu pengetahun,” imbuh Emad.
Tingkat keilmuan para alumni Sankore juga diperhitungkan universitas lain di dunia Islam. “Secara mengejutkan, banyak sarjana lulusan Universitas Sankore diakui sebagai guru besar di Maroko dan Mesir. Padahal, belum tentu kualitas keilmuan sarjana lulusan Al-Azhar dan Al-Qarawiyyin memenuhi standar di Sankore,” imbuh Felix Dubois.
Pada era kejayaan Islam di Timbuktu, banyak sarjana berkulit hitam terbukti lebih pandai dibandingkan sarjana asal Arab. Sejarawan terkemuka, Al-Hasan bin Muhammad Al-Wazzan atau Leo Africanus dalam bukunya, The Description of Africa (1526), mengungkapkan geliat keilmuan di Timbuktu pada abad ke-16 M.
“Ada banyak hakim, doktor, dan ulama di sini (Timbuktu). Semuanya mendapatkan gaji yang layak dari Raja Askia Muhammad. Dia menghormati orang-orang yang terpelajar,” papar Al-Wazzan. Kisah sukses dan keberhasilan perabadan Islam di benua hitam Afrika yang ditulis Leo, konon telah membuat masyarakat Eropa terbangun dari jeratan era kegelapan hingga mengalami Renaisans.
Lalu, bagaimana asal muasal berdirinya Universitas Sankore? Seperti halnya Universitas Al-Qarawiyyin di Kota Fez, Maroko, aktivitas keilmuan di Timbuktu juga bemula dari masjid. Alkisah, pada 989 M, kepala hakim di Timbuktu bernama Al-Qadi Aqib ibnu Muhammad ibnu Umar memerintahkan berdirinya Masjid Sankore.
Masjid itu dibangun secara khusus meniru Masjidil Haram di Makkah. Pada bagian dalamnya dibuatkan halaman yang nyaman. Di masjid itulah kemudian aktivitas keilmuan tumbuh pesat. Seorang wanita Mandika yang kaya raya lalu menyumbangkan dananya untuk mendirikan Universitas Sankore dengan tujuan sebagai pusat pendidikan terkemuka.
Perlahan namun pasti, Universitas Sankore pun mulai berkembang. Universitas ini lalu menjadi sangat dikenal dan disegani sebagai pusat belajar terkemuka di dunia Islam pada masa kekuasaan Mansa Musa (1307 M-1332 M) dan Dinasti Askia (1493 M-1591 M). Pada masa itulah, Sankore menjadi tujuan para pelajar yang haus akan ilmu agama dan pengetahuan lainnya.
Universitas ini dilengkapi dengan perpustakaan yang lengkap. Jumlah risalah yang dikoleksi perpustakaan itu berkisar antara 400 ribu hingga 700 ribu judul. Dengan fasilitas buku dan kitab yang lengkap itu, para mahasiswa akan belajar sesuai tingkatannya. Jika telah lulus dari berbagai ujian dan mengikuti pelajaran, para mahasiswa akan diwisuda dan dianugerahkan sorban.
Sorban itu melambangkan kecintaan pada Ilahi, kebijaksanaan, moral, dan pengetahuan yang tinggi. Pada zaman modern ini, para wisudawan diberikan toga. Tingkat paling tinggi yang ditawarkan Universitas Sankore adalah ‘superior’ (setara PhD), lamanya kuliah selama 10 tahun.
Ulama dan ilmuwan terkemuka yang dimiliki Universitas Sankore adalah Ahmad Baba as-Sudane (1564 M-1627 M). Ia adalah rektor terakhir Universitas Sankore yang menulis 60 buku dengan beragam judul, termasuk hukum, kedokteran, filsafat, astronomi, matematika, serta ilmu lainnya.
Ilmuwan dan ulama kenamaan lainnya yang dimiliki universitas itu antara lain; Mohammed Bagayogo as-Sudane al-Wangari al-Timbukti mendapat gelar doktor saat berkunjung ke Universitas Al-Azhar, Mesir; Modibo Mohammed al-Kaburi; Abu al-Abbas Ahmad Buryu ibn Ag Mohammed ibn Utman; Abu Abdallah; dan Ag Mohammed Ibn Al-Mukhtar An-Nawahi.
Kebebasan intelektual yang dinikmati di universitas-universitas di dunia Barat pada zaman modern ini, konon telah terinspirasi oleh Universitas Sankore dan Universitas Qurtuba di Spanyol Muslim. Tak hanya itu, universitas ini juga menjadi salah satu model perguruan tinggi yang benar-benar multikultural. Mahasiswa dan beragam latar belakang etnis dan agama menimba ilmu di Universitas Sankore.



BAB III
PENUTUP

Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini.

Pemakalah berharap warisan keilmuan dapat terus menjadi budaya Islam dan mengembangkan cabang-cabang ilmu yang lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tulisan yang sering dibaca...

Template developed by Confluent Forms LLC; more resources at BlogXpertise