Tulisan Lain
Menunggu...

3 November 2015

Wawasan Pergerakan Islam: Muhammadiyah

Oleh Joko Wahyu Sampurno

A.    Hasil Wawancara dengan Pemuda Muhammadiyah
Saya (Penanya)
Muhammad Irfandi Yunus (Narasumber) – Ketua Pimpinan Ranting Pemuda Muhammadiyah Dupak Bangunsari dari Pimpinan Cabang Muhammadiyah Krembangan. Masa jabatan 2010-2015.
Saya           : Siapa pendiri Muhammadiyah ?
M. Irfandi  : Berdirinya Muhammadiyah diprakarsai oleh KH Ahmad Dahlan.

Saya           : Bagaimana sejarah singkat berdirinya Muhammadiyah ?
M. Irfandi  : Pada tahun 1912, Ahmad Dahlan pun mendirikan organisasi Muhammadiyah untuk melaksanakan cita-cita pembaruan Islam di bumi Nusantara. Ahmad Dahlan ingin mengadakan suatu pembaruan dalam cara berpikir dan beramal menurut tuntunan agama Islam. Ia ingin mengajak umat Islam Indonesia untuk kembali hidup menurut tuntunan al-Qur’an dan al-Hadits. Perkumpulan ini berdiri tepat pada tanggal 18 November 1912. Dan sejak awal Dahlan telah menetapkan bahwa Muhammadiyah bukan organisasi politik tetapi bersifat sosial dan bergerak di bidang pendidikan.
Saya           : Apa yang menjadi latar belakang berdirinya Muhammadiyah ?
M. Irfandi  : Latar belakang berdiri Muhammadiyah karena banyaknya kepercayaan animisme dan dinamisme.
Saya           : Seperti apa yang dimaksud kepercayaan animisme dan dinamisme pada masa itu ?
M. Irfandi  : Animisme, yaitu suatu kepercayaan yang meyakini bahwa roh bisa berbuat baik atau jahat terhadap manusia. Mereka menganggap roh orang mati bisa berkeliaran di dunia bahkan masih pulang ke rumahya, menjaga keluarga yang ditinggalkannya.
                     Dinamisme, yaitu suatu kepercayaan yang menganggap bahwa semua benda memiliki kekuatan ghaib; seperti gunung, batu, api, pohon, dan benda-benda lain. Bahkan benda-benda buatan manusia sendiri juga dipuja dianggap memiliki kesaktian. Saat itu kan masih banyak sekali masyarakat yang tidak meminta kepada Allah yang mereka anggap keramat.
Saya           : Siapakah KH Ahmad Dahlan ?
M. Irfandi  : KH Ahmad Dahlan atau Muhammad Darwis (lahir di Yogyakarta, 1 Agustus 1868 – meninggal di Yogyakarta, 23 Februari 1923 pada umur 54 tahun) adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia. Ia adalah putera keempat dari tujuh bersaudara dari keluarga KH Abu Bakar. KH Abu Bakar adalah seorang ulama dan khatib terkemuka di Masjid Besar Kasultanan Yogyakarta pada masa itu, dan ibu dari KH Ahmad Dahlan adalah puteri dari H. Ibrahim yang juga menjabat penghulu Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat pada masa itu.
Saya           : Gagasan Muhammadiyah ?
M. Irfandi  : Muhammadiyah oleh Ahmad Dahlan ini juga mendapatkan resistensi, baik dari keluarga maupun dari masyarakat sekitarnya. Berbagai fitnahan, tuduhan dan hasutan datang bertubi-tubi kepadanya. Ia dituduh hendak mendirikan agama baru yang menyalahi agama Islam. Ada yang menuduhnya kyai palsu, karena sudah meniru-niru bangsa Belanda yang Kristen, mengajar di sekolah Belanda, serta bergaul dengan tokoh-tokoh Budi Utomo yang kebanyakan dari golongan priyayi, dan bermacam-macam tuduhan lain. Saat itu Ahmad Dahlan sempat mengajar agama Islam di sekolah OSVIA Magelang, yang merupakan sekolah khusus Belanda untuk anak-anak priyayi. Bahkan ada pula orang yang hendak membunuhnya. Namun ia berteguh hati untuk melanjutkan cita-cita dan perjuangan pembaruan Islam di tanah air bisa mengatasi semua rintangan tersebut.
Saya           : Landasan Muhammadiyah ?
M. Irfandi  : Asas Muhammadiyah adalah Islam dengan bersumber kepada al-Qur’an dan Sunnah. (Anggaran Dasar pasal 1)
Saya           : Maksud dan tujuan Muhammadiyah ?
M. Irfandi  : Menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. (Anggaran Dasar pasal 2)
Saya           : Metode Dakwah atau Strategi ?
M. Irfandi  : Dalam berdakwah Muhammadiyah tidak hanya menerapkan dakwah bil lisani, tetapi juga dakwah bil hal. Bahkan yang terakhir ini menjadi prioritas utama, sebagai wujud dakwah bil hal. Muhammadiyah mendirikan banyak lembaga pendidikan (mulai dari TK sampai Perguruan Tinggi), Rumah Sakit, Balai Kesehatan, Rumah Bersalin, Panti Asuhan, Panti Jompo, Lembaga Ekonomi, Masjid, Surau, serta menyiapkan kader umat dan bangsa, santunan fakir miskin dan sebagainya.
                     Kenapa demikian, karena Muhammadiyah pada dasarnya merupakan gerakan dakwah amar ma’ruf dan nahi munkar. Dan perlu diingat, tampilan wajah dakwah Muhammadiyah selalu teduh dan sejuk. Muhammadiyah juga selalu berusaha dalam dakwahnya, menyeimbangkan kepentingan dunia dan akhirat.
Saya           : Siapa saja tokoh Muhammadiyah yang Anda kenal ?
M. Irfandi  : KH. Ahmad Dahlan, KH Mas Mansyur, A R Fakhruddin, Amien Rais, Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimejo, Panglima Besar Jenderal Soedirman.
Saya           : Mengenai tokoh Muhammadiyah, Buya Hamka, bagaimana pendapat Anda mengenai beliau ?
M. Irfandi  : Buya Hamka, seorang ulama, politisi, dan sastrawan besar yang mengedepankan toleransi dan ukhuwah islamiyah.

B.     Rangkuman dari Buku
Keperluan tersedianya kader sesuai dengan kebutuhan tiap amal usaha Persyarikatan yang meliputi berbagai macam keahlian dan profesionalisme, tetapi ada kader mutlak yang mutlak diperlukan pada setiap tipe kader tersebut, yang mempunyai dasar dan latar belakang batiniah, motivasi, bekal ilmu Al-Islam, wawasan ke-Islaman, serta perjuangan dan etos kerja yang tinggi.[1]
Kita sering terkecoh, karena misalnya ada seseorang yang telah kita tokohkan dengan alasan dia telah pernah berkali-kali ditraining. Tetapi ternyata dia mengecewakan sekali Persyarikatan dan umat Muhammadiyah. Mengingat hal di atas, hendaknya kita bisa memadukan antara segi apakah dia pernah mendapat training dengan kenyataan lahir yakni apakah ada kemampuan serta pantas sebagai pemimpin.
Maka tidak benar orang yang berpendapat bahwa membentuk kader itu hanya cukup dengan cara training-training saja beberapa kali, misalnya mulai basic training, intermediate, dan advance training.
Kader bagi Muhammadiyah adalah sebagai pelopor, pelangsung dan penyempurna amal usaha Persyarikatan, maka tanpa kader, Muhammadiyah tidak akan hidup. Para pioner, penggerak dan pejuangan yang benar-benar telah memahami dan berorientasi kepada ideologi dan keyakinan hidup serta khitah Muhammadiyah-lah yang mendukung cita-cita Muhammadiyah.[2]
Kapan Pendidikan Kader Dikatakan Telah Berhasil ?
Tolok ukur keberhasilan pendidikan kader Muhammadiyah bukan ditentukan karena banyaknya peserta dan meriahnya penyelenggaraan training, tetapi ada kriteria, yaitu:
  1. Bila akidah serta pola pikir dan wawasan trainee telah selaras dan sesuai dengan Kepribadian, Cita-cita dan Keyakinan Hidup serta Tujuan Muhammadiyah dalam kehidupan sehari-hari.
  2. Bila perilaku dan sikapnya dalam kehidupan sehari-hari telah mencerminkan ideologi yang merupakan pantulan dari Kepribadian, Keyakinan dan Cita-cita Hidup serta Tujuan Muhammadiyah.
  3. Bila di dalam seluruh aktivitas pada semua aspek kehidupannya di tengah-tengah masyarakat juga melaksanakan amar makruf nahi munkar, berusaha mengajak dan memberi arah kepada orang lain untuk menuju kepada pengembangan paham Muhammadiyah dan merasa bertanggung jawab membawa missi dan tujuan Muhammadiyah.
  4. Bila di dalam lingkungan mana pun, baik dalam lingkungan dinas di mana dia bekerja, lingkungnan formal maupun non formal, sebagai pengurus atau anggota di lembaga-lembaga apa saja mulai tingkat RT, Desa maupun tingkat Nasional, dia senantiasa menggunakan kesempatan untuk mempengaruhi atau mengarahkan dan memelopori terwujudnya amal kebajikan Muhammadiyah atau yang sesuai dengan ajaran padam Muhammadiyah. Dengan bahasa lain, menggunakan kesempatan yang ada untuk kepentingan dakwah Muhammadiyah.
  5. Bila ringan tangan kerika diajak atau ada panggilan tugas untuk mengurusi masalah-masalah Persyarikatan atau jihad sabilillah pada umumnya. Dalam bahasa sehari-hari, dia orang “gampangan” (mudah untuk diajak ngurusi atau “ngrumati” Muhammadiyah).
  6. Secara umum dengan telah mantapnya konsolidasi ideologis dan persepsional Muhammadiyah.
  7.   Tumbuhnya kesadaran untuk mendalami serta mengamalkan paham Islam menurut Muhammadiyah.
  8.  Tumbuhnya gairah jihad sabilillah (dakwah Islam dan amar makruf nahi munkar) lewat Persyarikatan Muhammadiyah dan senantiasa berusaha mempengaruhi dan mengajak kepada seluruh lapisan masyarakat yang dipergaulinya kepada kemurnian Islam atau paham Muhammadiyah dimana ada kesempatan.
  9. Secara umum telah ada kesinambungan aktivitas setelah pengkaderan tersebut berakhir, artinya ada follow-up dalam pembinaan kepada kader-kader tersebut.
  10. Berfungsinya struktur kepemimpinan dan dinamika Persyarikatan di semua tingkatan dan  ORTOM atau Bagian/Majelis mulai tingkat Ranting hingga Pusat, yang masing-masing menyadari peran dan tugasnya, dengan dilandasi keikhlasan berjuang karena Allah dan rasa amanah serta etos kerja yang tinggi.[3]
Muhammadiyah dan Politik
Sejak berdirinya, Muhammadiyah lebih memusatkan perhatiannya kepada kerja-kerja kongkret di bidang pendidikan, santunan sosial, dan kemanusiaan sebagai realisasi keimanan para anggotanya kepada Allah. Ada  pun melibatkan diri ke dalam politik secara langsung memang bukan menjadi target utamanya, kecuali Muhammadiyah Sumatera Barat pada tahun 1930-an. Oleh sebab itu tampilnya beberapa kader inti persyarikatan dalam politik praktis dalam jumlah yang agak besar merupakan fenomena baru-baru saja.
Dimotori Prof. M. Amien Rais, denyutan nadi sebagian kader Muhammadiyah memang terasa semakin Highly politicized. Tuntutan untuk terjun langsung ke gelanggang politik itu menjadi semakin kuat karena sebuah terobosan perlu dilakukan di tengah-tengah budaya politik yang semakin hari semakin pengap dan korup.
Mula-mula berlindung di bawah payung high politics, kemudian karena desakan keadaan dan lingkngan, arena politik praktis harus dimasuki melalui partai politik yang baru dibentuk atau pun yang sudah ada. Maka kader-kader Muhammadiyah kini bertebaran dalam berbagai partai, sekalipun jumlah yang terbanyak ditemui dalam PAN, PPP, PBB, PK, dan GOLKAR.
Adapun Muhammadiyah sebagai gerakan Islam memang tidak punya hubungan formal dengan partai-partai itu karena dilarang oleh keputusan Muktamar 1971 dan keputusan-keputusan lain yang di bawah itu. Muhammadiyah tampaknya tidak mau menjadi subordinasi kekuatan-kekuatan politik yang ada karena pengalaman masa lampaunya tidak terlalu manis mengenai itu semua.
Selintas sejarah perlu diamati sebentar. Pada waktu membentuk MIAI (Majlis Islam Ala Indonesia) pada 1937 dan Masyumi pada 1943 dan 1945, Muhammadiyah sebagai bagian utama dari kekuatan umat yang menonjol telah turut aktif dalam kegiatan itu semua. Tetapi tokoh puncaknya lebih banyak kemudian berperan dalam Majlis Syura, bukan dalam dewan pimpinan yang langsung mengurus politik. Dalam Masyumi, Muhammadiyah ditempatkan sebagai anggota istimewa bersama organisasi-organisasi Islam lainnya. Sementara PSII dan NU telah meninggalkan Masyumi, masing-masing tahun 1947 dan tahun 1952, Muhammadiyah tampaknya masih setia sampai partai ini dibubarkan pada akhir 1960.
Dengan bergulirnya waktu pada permulaan Orde Baru, Muhammadiyah masih turut memprakarsai terbentuknya Parmusi (Partai Muslimin Indonesia) dengan menampilkan dua tokoh puncaknya Djamawi Hadikusumo dan Lukman Harun. Karena rezim Orba tidak menginginkan sebuah partai menjadi kuat, maka dilumpuhkanlah partai baru ini dengan pembajakan pimpinannya. Djamawi-Lukman tersingkir dengan serta merta. Pengalaman traumatik inilah yang sebenarnya menjadi salah satu alasan mengapa Muhammadiyah merasa kapok melibatkan diri dalam politik praktis.[4]





[1] Umar Hasyim, Muhammadiyah Jalan Lurus dalam Tajdid, Dakwah, Kaderisasi dan Pendidikan, (Surabaya, PT Bina Ilmu, 1990), hal 134
[2] Ibid. hal 135
[3] Ibid. hal 135-136
[4] Ahmad Syafi’I Maarif, Muhammadiyah & Reformasi: Peran Politisi Muhammadiyah dalam Rekayasa Transformatif Indonesia Baru, (Yogyakarta, Aditya Medika, 2000), hal 28-30

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tulisan yang sering dibaca...

Template developed by Confluent Forms LLC; more resources at BlogXpertise